Oleh: Prana Rifsana
Aktivis Buruh Sektor Perbankan
PERSOALAN buruh di Indonesia masih saja didominasi oleh persoalan-persoalan dasar buruh, yaitu upah layak, jaminan kesehatan dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Hal ini menjadi perhatian kita semua. Selama 73 tahun merdeka, Negara sebesar Indonesia tidak dapat menyelesaikan persoalan-persoalan dasar buruhnya sendiri.
Bagaimana tidak. Lihat saja anggota dewan terhormat kita yang dipenuh sesaki oleh para pelaku bisnis dan pengusaha. Serta kaum borjuis yang selalu mengakomodir kelas kapitalis. Memiliki sudut pandang bisnis dalam menyelesaikan setiap persoalan berdasarkan pertimbangan dan kepentingan bisnisnya. Layaknya seorang kapitalis yang berusaha mendapatkan laba setinggi-tingginya dengan biaya yang serendah-rendahnya.
Menjadi tidak heran, ketika produk undang-undang dan kebijakan mengenai tenaga kerja seakan-akan hanya mengakomodir kepentingan pengusaha. Juga menjadi seperti hal yang lumrah, ketika kekuatan buruh dijadikan obyek untuk mementingkan kepentingan beberapa kelompok saja. Untuk mendapatkan keuntungan bahkan untuk memperoleh kekuasan sekalipun.
Baca Juga:Harga Obat Diprediksi Terus NaikHouston
Meritocracy sistem pun yang dijadikan dasar dalam mengukur performance dan produktivitas buruh seakan menjadi lips services belaka jika selalu saja tetap dipertahankan harus ada kelompok yang berada di level terendah (sebaran normal) karena ujung-ujungnya adalah duit (baca:budget). Bukahkan suatu hal yang mungkin terjadi kalau kita semua memilki performance dan produktivitas yang sama baik.
Jika politik kepentingan dan politik transaksional selalu dipraktekan di negeri ini, mau sampai usia berapa bangsa ini merdeka agar bisa menyelesaikan persoalan-persoalan dasar buruhnya? Harus ada perubahan sistem di negeri ini. Penilaian terbuka kepada publik, sistem reward dan punishment yang transparan harus dibangun. Buang jauh-jauh politik kepentingan dan transaksional!
Bangun sistem proteksi originalitas hasil kerja dari kepentingan pemilik modal, hapuskan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuka peluang semakin kuatnya cengkraman kaum borjuis di negeri ini. Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai macam profesi dan latar belakang sehingga tidak layak jika salah satu kelompok saja yang bertahun-tahun menguasai perpolitikan Indonesia.
Harus diingat bahwa setiap persoalan bangsa ini selalu ada persoalan buruh yang mengikutinya sehingga tidak pantas jika persoalan buruh selalu diabaikan. Persoalan lemahnya rupiah, menurunnya angka ekspor dan ketergantungan produk luar sehingga memancing tingginya impor misalnya, pasti selalu ada persoalan buruh yang mengikutinya sehingga kita harus melihat dan memahaminya semua persoalan melalui helicopter view agar obyektif dalam mancari solusi dan jalan keluar.