Oleh: Dahlan Iskan
INILAHÂ pelajaran dari Asia Sentinel. Untuk profesi wartawan. Atau profesi apa pun.
Asia Sentinel tidak malu. Untuk minta maaf. Pada ‘korban’ tulisannya. Kali ini pada Presiden SBY. Juga pada Partai Demokrat.
Padahal Asia Sentinel belum tentu bersalah. Secara hukum. Tapi ia mengaku bersalah. Secara praktik jurnalistiknya.
Baca Juga:Deklarasi Gerakan Petani Milenial Jaringan Pemuda PetaniAnne: Jangan Ada Konflik karena Beda Pilihan
Yang dilanggar adalah kode etik jurnalistik: tidak cover both side. Jadinya tidak imbang. Yakni tidak mewawancari SBY atau Partai Demokrat. Yang dalam tulisan itu sangat dipojokkan.
Sumber tulisan itu sebenarnya jelas: berkas gugatan perdata. Berkasnya ada. Penggugatnya ada.
Wartawan umumnya punya hubungan dekat dengan pengacara. Pengacara adalah sumber berita yang tidak habis-habisnya.
Wartawan sering memanfaatkan pengacara. Untuk menggali banyak berita. Pengacara sering memanfaatkan wartawan. Untuk kepentingan kliennya. Kadang memang saling memanfaatkan. Tinggal pinter-pinteran. Siapa yang lebih memanfaatkan siapa. Dengan tujuan apa.
Wartawan juga bisa menilai. Pengacara yang mana yang idealismenya tinggi. Berjuang tidak hanya untuk kliennya. Juga sekalian memanfaatkan kliennya sebagai alat penegakkan hukum. Menegakkan kebenaran. Menegakkan keadilan.
Wartawan, dalam hati mereka, juga punya daftar: pengacara mana komersial murni. Sama seperti pengacara, wartawan punya idealisme. Menegakkan hukum. Menegakkan kebenaran. Menegakkan keadilan.
Kadang memanfaatkan pengacara untuk tujuan idealismenya itu. Saya yakin Asia Sentinel tidak sembarangan. Bahwa tidak punya kantor tidak bisa dibilang ecek-ecek. Zaman sekarang tidak perlu kantor. Apalagi Asia Sentinel adalah media online.
Baca Juga:Bantuan Alat Sistem Pertanian dari Pemerintah Pusat Ddinilai Tepat SasaranMerosot Tajam, Harga Garam Lokal hanya Rp700
Saya bisa membaca jalan pikiran wartawan sesenior Berthelsen. Pimred Asia Sentinel. Yang hebat itu. (Baca: Bank Century Lagi Hidup Mati)
Gugatan Weston International Capital Limited. itu bukan gugatan sengketa biasa. Antar dua pihak. Gugatan itu mengandung nilai-nilai idealisme: mengungkapan korupsi. Mungkin si penggugat memang memanfaatkan aspek idealisme itu. Sebagai daya tarik bagi wartawan.
Karena itu Asia Sentinel tidak minta maaf atas kontennya. Tapi minta maaf karena tidak benar dalam praktek jurnalistiknya. Yakni mengutip begitu saja isi gugatan. Tanpa minta komentar pihak yang digugat.
Asia Sentinel mengaku: itu praktik itu tidak benar. Pembaca tidak diberi pandangan dari sisi yang digugat. Ini melanggar kode etik jurnalistik. Meski belum tentu melanggar hukum.