Oleh Dahlan Iskan
NAMANYA Gershom Soetopo. Usianya 102 tahun. Pendiri Gereja Bethel Tabernakel. Pendeta unggul di Surabaya.
Anaknya lima orang: semuanya jadi pendeta. Cucunya 11 orang. Semua jadi pendeta. Cicitnya 9 orang: masih kecil-kecil. Kalau semua cicitnya kelak juga jadi pendeta apa harus dikata. Mungkin satu-satunya di dunia.
Sabtu lalu pendeta Gershom meninggal dunia. Saya melayat. Di rumahnya. Yang juga gereja pertamanya. Di Jalan Mojopahit Surabaya. Jenazahnya disemayamkan di gereja itu. Selama seminggu. Sebelum dimakamkan di Nirwana, dekat Lawang, Malang. Senin besok pagi. Di sebelah makam istrinya. Yang meninggal lebih dulu. Lebih dua tahun lalu.
Baca Juga:Pemuda Inspiratif, Adu Konsep dan KreativitasPemdes Cicadas Bedah Rumah Ma Ucih
Keluarga kami akrab dengan keluarga pendeta ini. Saya sendiri terakhir bertemu beliau dua tahun lalu. Tidak sengaja. Di halaman supermarket Hokky Surabaya.
Tiba-tiba beliau memanggil saya yang lagi berjalan ke arah mobil. Beliau sendiri masih berada di dalam mobil. Siap-siap meninggalkan supermarket itu.
Sambil memanggil nama saya, mobilnya berhenti. Semua keluarganya disuruh turun. Mobil Alphard itu penuh sesak dengan sebagian anak dan cucunya.
”Izinkan kami mendoakan pak Dahlan,” kata pendeta Gershom yang hari itu usianya genap 100 tahun.
Maka keluarga itu mengelilingi saya. Berdiri hikmat. Di halaman supermarket. Pak pendeta lantas berdoa. Untuk keselamatan saya. Juga untuk terbebasnya belenggu saya.
Saya berterima kasih atas ketulusan doanya.
Gershom adalah nama baptisnya. Diambil dari nama anak pertama Nabi Musa. Soetopo adalah nama Indonesianya. Setelah menjadi WNI.
Nama lahirnya adalah Poo Guan Sien. Tempat lahir: Fujian, Tiongkok. Dari kabupaten Tinghua.
Poo melakukan perjalanan xia-nan-yang ketika umur 17 tahun. Sendirian. Orang tuanya sudah meninggal dunia. Saat Poo masih berumur 10 tahun.
Baca Juga:Tim Jokowi-Ma’ruf Jabar Nyatakan Perangi HoaxSemua Kecamatan Berpotensi Terjadi Pergerakan Tanah
Merasa sudah dewasa Poo ikut kapal yang mengarah ke Selatan. Ke satu wilayah yang kelak bernama Republik Indonesia.
Tahun 1943 Poo tiba di Surabaya. Mencari keluarga jauhnya. Yang sudah lebih dulu tiba di sini. Lima tahun di Surabaya Poo jatuh sakit. Parah. Seperti tidak ada harapan lagi.
”Teman-temannya membopong ayah ke gereja di Jalan Rajawali. Untuk minta penyembuhan ke pendeta Belanda di gereja itu,” ujar Henoch Soetopo, putra keempat almarhum.