Oleh Anggi Agustian Junaedi
UMUMNYA, masyarakat Indonesia mengakui bahwa sisingaan merupakan kesenian khas yang berasal dari daerah di sebelah utara provinsi Jawa Barat bernama Subang. Keberadaannya sampai saat ini tidak lepas dari sejarah panjang yang menyertainya. Terutama, berkaitan dengan sejarah kemunculannya. Banyak yang beranggapan bahwa sisingaan lahir akibat dari penjajahan. Akan tetapi, tidak sedikit juga yang menyangsikan anggapan tersebut.
Sampai saat ini, sisingaan dipersepsikan oleh sebagian besar masyarakat sebagai bentuk perlawanan rakyat Subang kepada penjajah. Hal ini dapat dilihat pada nilai-nilai filosofisnya. Empat orang pengusung digambarkan sebagai masyarakat Subang yang sedang dijajah. Sementara itu, boneka yang diusung merupakan representatif dari dua penjajah; Inggris dan Belanda karena keduanya pernah menguasai wilayah ini secara bergantian. Dan terakhir, anak-anak yang menaiki boneka singa dipercaya sebagai generasi penerus Subang yang akan mengusir penjajah sekaligus membebaskan penderitaan rakyat Subang terdahulu. Dengan demikian, sisingaan bukanlah perlawanan secara langsung ataupun terbuka. Ia merupakan perlawanan secara tertutup melalui simbol.
Akan tetapi, bukti yang kuat untuk memperkuat argumen tersebut belum ditemukan. Bukti yang ada hanya berupa cerita yang diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dalam sejarah, ini disebut dengan tradisi lisan dan belum cukup untuk dapat dikatakan sebagai suatu kebenaran yang mendekati objektif. Apalagi, jika harus berkiblat kepada salah satu sejarawan Barat yang mengatakan bahwa no document no history. Oleh karena itu, untuk dapat menghasilkan suatu kebenaran yang mendekati objektif tentang sejarah lahirnya sisingaan maka mau tidak mau harus menggunakan data dan fakta.
Baca Juga:Bantaran Sungai Cigadung Bergeser, Warga Khawatir LongsorSMA Negeri 1 Pusakanagara Gelar Pekan Kreasi Seni Unjuk Kabisa
Ketiadaan data dan fakta berkenaan dengan sejarah lahirnya sisingaan sebagai bentuk perlawanan membuat beberapa pihak mulai meragukan kebenarannya. Seorang pakar sisingaan bernama Armin Asdi misalnya. Keraguannya terhadap kaitan sisingaan dengan perlawanan membawa dirinya untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam. Dalam penelitiannya, ia mencoba melacak lahirnya sisingaan sejak dibentuknya Subang sebagai tanah swasta yang dibagi kepada tiga periode penguasa; Inggris, Belanda, dan kembali ke Inggris. Hasilnya, ia menyangsikan sisingaan lahir pada periode pertama karena beberapa hal. Pertama, jumlah penduduk di Subang saat itu masih jarang dan didominasi oleh para pendatang sehingga hubungan diantara penduduk masih renggang. Sementara itu, untuk menghasilkan sebuah karya seni dengan nilai filosofis yang tinggi diperlukan ikatan yang kuat. Kedua, daerah Subang belum dieksploitasi secara besar-besaran oleh penjajah sehingga kemungkinan adanya perlawanan dari rakyat cukup kecil. Ketiga, jumlah penduduk Subang saat itu masih sangat sedikit. Pada akhirnya, Armin Asdi sampai pada kesimpulan bahwa sisingaan lahir pada periode kedua (1848-1910) yaitu pada masa penguasa Belanda bernama Peter Willem Hofland. Pada masa ia berkuasa, daerah Subang mengalami perkembangan yang sangat pesat baik dari segi jumlah penduduk dan hubungan yang erat diantara mereka maupun eksploitasi terhadap daerah ini. Akan tetapi, bukan sebagai bentuk perlawanan, melainkan sebagai bentuk pemujaan kepada Hofland karena dibawah kepemimpinannya, Subang mengalami kemajuan yang cukup pesat dan rakyat bergerak menuju kemakmuran.