Oleh: Eko Budi Sutrisno, S.E.
*) Pegawai kantor Wilayah Ditjen PBN Provinsi Bali
Cita ketiga dari Program Nawacita Pemerintah adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu kebijakan belanja publik tertuang dalam Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa adalah pengelolaan Dana Desa.
Dana Desa adalah anggaran yang diperuntukkan bagi desa dan desa adat yang ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Dana Desa bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa dialokasikan secara merata dan berkeadilan. Alokasi Dana Desa yang semakin meningkat setiap tahun diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Dalam konteks dana desa, pemerintah sedang mengarahkan gerak kebijakan ekonomi publik pada pembangunan yang berkeadilan sosial.
Indonesia sebagai negara yang menganut welfare state selalu berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia, baik yang diperkotaan maupun pedesaan, dengan memerhatikan keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat. Argumen yang dibangun dalam mendukung kebijakan Dana Desa yaitu argumen kontraktarian yang menyatakan uang publik dapat didistribusikan untuk golongan lemah/miskin atau yang tidak memiliki sumber daya untuk berkontribusi membayar pajak.
Baca Juga:Wahana Aspirasi Demokrasi Desa, Berharap Pilkades Aman dan LancarPesta Narkoba, Empat Pemuda Diciduk
Argumen kontrakrian menyatakan bahwa setiap manusia terlahir dengan tidak memiliki kemampuan untuk lahir dalam lingkungan mampu ataupun tidak mampu. Sehingga sudah selayaknya masyarakat yang terlahir sebagai golongan yang kuat/pemilik modal untuk membantu masyarakat umum selaku golongan lemah untuk memperoleh akses dalam berpartisipasi dan menikmati hasil-hasil pembangunan.
Sesuai amanat sila kelima dari Pancasila, negara berkewajiban untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Cita-cita untuk mewujudkan keadilan sering terkendala oleh kaum pemilik modal atau kaum kapitalis.
Kaum kapitalis beranggapan pola pengelolaan dana desa sangat tidak efisien, pemborosan, menambah biaya dan mengurangi kekayaan atau modalnya. Mereka beranggapan bahwa tingkat kesejahteraan dan efisiensi sedapat mungkin mereka kendalikan sebagai wujud kompensasi telah membawar pajak.
Kaum kapitalis selalu berusaha untuk meraih keungtungan sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara. Harapan kaum kapitalis tersebut, tidak terkecuali dalam pelaksanaan anggaran dana desa yang dibiayai dari APBN. Mereka beranggapan sumber penerimaan negara terbesar dari sumber perpajakan.