Oleh: Dahlan Iskan
Ini makan malam pertama saya di Korea Utara: bayar pakai Renminbi. Kembaliannya Dollar Amerika.
Memang bisa. Membayar dengan Renminbi dan Dollar. Tapi mata uang resmi untuk orang asing sebenarnya bukan itu. Euro.
Tidak ada tempat penukaran uang. Di bandara.
Semua serba cash. Tidak ada kartu kredit. Tidak ada pembayaran elektronik. Harus bawa uang banyak.
Baca Juga:Polisi Telusuri Komunitas LGBT, Pelanggaran Pidana Akan Ditindak TegasNam Nam Pohon Langka yang Dicari Orang
Malam itu saya pilih makan malam di luar hotel. Ingin tahu suasana kulinernya. Pilihannya sebuah restoran kelas menengah. Masakan Korea.
Saya pilih mi hitam panas. Yang diberi tiga lembar irisan daging tipis. Dan telur rebus separo. Dua teman Korea saya pilih nasi. Terbalik.
Restoran ini bersih sekali. Penataan meja kursinya juga rapi dan serasi. Di salah satu ruangannya seperti lagi ada pesta. Seperti reuni. Atau arisan. Nyanyi-nyanyi bersama. Tidak henti-hentinya.
Pakaian pelayannya juga sangat rapi. Serasi. Tidak norak. Juga tidak lusuh. Cuttingnya bagus. Bahannya juga baik. Bukan kain murahan.
Tidak mengesankan ini restoran di sebuah negara miskin. Jauh dari kesan ndeso. Bisa dibilang masuk kategori keren. Rasanya penampilan pelayan restoran kita pun kalah. Untuk sekelas itu.
Tidak pula terkesan ini sebuah restoran di negara komunis.
Dan harga makanan ini murah. Makan berempat hanya sekitar Rp 200 ribu. Saya bayar dengan Renminbi. Satu lembar. Seratusan. Saya diminta menunggu uang kembalian.
Dia buka laci. Menyerahkan satu lembar kembalian. Ternyata lembaran Dollar Amerika. Satu Dollar. Bayar 100 Renminbi. Dapat kembalian 1 Dollar.
Baca Juga:11 Pelaku Terjerat Kasus NarkobaEmpat Formasi CPNS Tidak Ada Peminat
Naik taksi juga pakai Renminbi. Bayar telepon pakai Renminbi. Yang naik taksi hampir pasti orang asing. Terlihat cukup banyak turis.
Saya ketemu yang dari Rusia, Jerman, Taiwan, Hongkong, Singapura dan terutama Tiongkok.
Rakyat setempat naik kendaraan umum: tram listrik. Bayarnya pakai Won. Satu kali jalan hanya 5 Won. Itu tidak ada artinya sama sekali. Hanya sekitar Rp 75. Ulangi: tujuh puluh lima rupiah. Sekedar untuk terlihat rakyat juga bayar.
Di Pyongyang sudah ada kereta bawah tanah. Dua line. Karcisnya juga hanya 5 Won. Saya ikut merasakan kereta bawah tanah itu. Tanpa tujuan. Ke lima stasiun. Lalu balik lagi.