KARAWANG-Sejumlah masyarakat Kecamatan Jatisari yang berada di sekitar bendungan Barugbug dan sungai Cilamaya, mengalami pusing dan mual. Hal itu diakibatkan oleh air sungai Cilamaya yang menghitam dan berbau.
“Bau busuk yang berasal dari air bendungan sangat menyengat. Kami merasa mual dan pusing-pusing, karena terus menerus harus menghirup udara tak sehat itu,” ujar Agus, warga Desa Situ Dam, Kecamatan Jatisari, yang rumahnya tidak jauh dari bendungan tersebut.
Menurutnya, perubahan warna dan penurunan kualitas air bendungan terjadi sejak, Selasa malam (23/10). Bahkan hingga Rabu siang (24/10), warna air bendungan masih berwarna hitam dan berbuih banyak.
Baca Juga:Sebelum Beraksi, Komplotan Begal Mabuk-Mabukan DuluMinim Pasokan Air, Petani Cilamaya Terlambat Panen
“Saat tercium aroma tak sedap menyergap hidung, kami sudah bisa memastikan air bendungan kembali tercemar limbah industeri. Kami sudah mengalami hal ini puluhan tahun,” ujarnya.
Sementara itu, sejumlah aktivis yang tegabung dalam Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama ( LPBI NU) mengaku geram melihat air Bendungan Barugbug dan Sungai Cilamaya kembali tercemar limbah. Mereka meyakini sejumlah pabrik yang di hulu Sungai Cilamaya kembali membuang limbah cairnya tanpa diolah terlebih dahulu.
Dian Nugraha dari LPBI NU menyebutkan, kecurangan kalangan industeri di hulu Sungai Cilamaya sudah dilakukan selama dua puluh tahun. Mereka sengaja membuang limbah cairnya ketika di hulun Sungai Cilamaya diguyur hujan.
“Saat hujan turun, mereka langsung menggelontorkan limbah ke aliran Cilamaya dengan harapan air limbah tercampur air hujan, sehingga tidak ketara oleh masyarakat,” kata Dian.
Disebutkan, Selama malam (23/10) wilayah hulu Sungai Cilamaya memang diguyur hujan, dan hal itu kembali dimanfaatkan kalangan industeri nakal. “Ini buktinya, air bendungan kembali hitam dan berbau,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Dian juga mengungkapkan kekesalannya kepada pihak Dinas Lingungan Hidup Provinsi Jawa Barat dan DLHK Subang yang saling melempar tanggung jawab dalam hal tersebut. “Masyarakat Karawang ini kebagian sialnya. Pabrik pembuang limbah ada di Subang dan Purwakarta. Tapi yang merasakan dampak buruknya, warga Karawang,” paparnya.
Disebutkan, saat LPBI NU melaporkan pencemaran air ke DLH Provinsi, mereka mengatakan yang harus menindak perusahaan nakal adalah DLHK Subang atau Purwakarta karena lokasi pabriknya ada di wilayah kerja mereka. Namun jawaban DLHK Subang dan Purwakarta malah menyerahkan hal itu ke Provinsi.