oleh: Jejen Mujiburohman
Mahasiswa Pasca Sarjana STIEPas Bandung
Pagi. Suasana sejuk masih menyelimuti balai desa. Embun pohon rindang dipekarangan desa berganti dengan kehangatan mentari pagi. Jam baru menunjukan pukul 07.00. saya bergegas masuk ruangan aula desa. Duduk dikursi paling depan dideretan undangan ormas keagamaan. Kesan pertama yang saya dapatkan, beriang ria dalam benak adalah tulisan yang terpampang pada spanduk percis didepan tempat duduk.
“Musrenbangdes dengan tema: Pemerataan Pembangunan Desa”.
“Saya tidak setuju.. dan protes”, ucap salah satu peserta musrenbangdes yang duduk disebelah saya, ketika melihat draf proyek pembangunan yang akan segera disepakati. “Masa iya… dusun yang lain mendapat jatah enam titik pembangunan, sementara dusun saya hanya satu titik proyek pembangunan” lanjutnya lagi dengan nada emosional disambut riuh rendah peserta musrenbangdes.
Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) sejatinya adalah forum rembug warga desa yang dilakukan untuk membicarakan masalah dan potensi desa agar teridentifikasi dengan baik untuk memberikan arah pembangunan yang jelas serta tindakan dalam skala prioritas yang merata dan berkeadilan.
Baca Juga:Grand Opening Tokma PamanukanKedai Panggung Sajikan Aroma Kopi Pilihan
Fenomena anggaran pembangunan desa yang cukup menggiurkan, bukanlah alih-alih untuk optimalisasi pembangunan desa, justru malah menjadi sumber problem baru. Kejaksaan negeri hampir di berbagai daerah, merupakan lembaga yang disibukan dengan prilaku kepala desa. Persi Indonesia Corruption Watch (ICW) di tahun 2018 saja sudah 102 kepala desa yang resmi menjadi tersangka, sehingga ICW menempatkan desa merupakan sektor yang suram dalam upaya pemberantasan korupsi.
Perilaku kepala desa diatas, bukan tanpa sebab, bukan mereka tidak menyadari dampak dan akibatnya, juga bukan mereka tidak memiliki pemahaman agama sebagai benteng terakhir yang diharapkan mampu meminimalisir prilaku korupsi, melainkan karena system yang mendorong mereka untuk berprilaku seperti itu. Suka atau tidak, system demokrasi banyak melahirkan dendam politik. Dendam dalam arti berkeinginan keras untuk membalas dan mengembalikan pada situasi yang ia inginkan.
Psikolog politik membagi dendam politik terbagi pada dua; dendam kedalam diri (personal) dan dendam keluar (konstituen). Dendam ‘kedalam’ atas semua upaya yang telah ia lakukan, waktu, tenaga, pikiran dan biaya. Sehingga tidak aneh ketika mereka menjabat akan mulai menghitung untung dan rugi atas semua pengorbanan yang telah ia lakukan. Sedangkan dendam ‘keluar’ adalah dendam terhadap konstituen politik dengan segala perniknya seperti janji kompanye, dukung dan tidak mendukung.