Pada level tertentu, mekanisme yang diinginkan perbub diatas, akan mendorong perpecahan dan permusuhan antar dusun/RW. Mengapa tidak menggunakan mekanisme yang lama saja. Yaitu TPS ditetapkan di balai Desa, masyarakat disuruh datang berbondong-bondong kedesa, kemudian dihitung akumulasi masyarakat pemilih desa secara keseluruhan. Mekanisme ini lebih banyak manfaatnya, selain dari sisi anggaran operasional pilkades, juga dari sisi edukasinya.
Ada dua hal dalam pilkades yang kurang dipahami ketika perbub diatas dibuat. Disini lagi-lagi kualitas dewan sebagai yang bertanggungjawab dalam membuat peraturan dipertaruhkan. Pertama, emosional keturunan. Kedua, emosional ke-RWan atau ke-dusunan. Kedua emosional ini sebagai factor penentu kemenangan bagi kontestan pilkades. Siapa saja calon yang mampu mengelola dengan baik kedua emosi ini, maka ia yang akan keluar sebagai pemenangnya. Sehingga berlaku rumus, perkuat jaringan keturunan, baru kemudian konstituen murni. Atau kontestan yang berasal dari dusun yang penduduknya lebih banyak, hampir bisa dipastikan ia akan keluar sebagi pemenang. (*)