Oleh Dahlan Iskan
Saya ke restoran.
Itu milik negara.
Saya beli apel. Di toko buah yang sederhana.
Itu milik negara.
Saya ke gym.
Itu milik negara.
Apalagi kereta api, bank dan pabrik.
Saya lewat daerah persawahan.
Itu milik negara.
Semua milik negara. Dari yang besar sampai sekecil toko buah.
Itulah Korea Utara. Semua usaha adalah usaha negara.
Seperti penjual buah itu. Dia digaji bulanan. Dapat beras, sayur dan buah-buahan. Dari pemerintah. Lewat organisasi sekelas RT.
Dia dapat pakaian seragam. Gratis. Dapat rumah gratis. Berobat gratis. Sekolah anaknya gratis.
Hanya pakaian sehari-hari yang harus beli. Dan tambahan bahan makanan –kalau mau makan lebih banyak. Atau tambah daging –kalau ingin makan lebih enak.
Perusahaan negara adalah lapangan kerja. Untuk rakyatnya.
Baca Juga:Komunitas Petani Demo PJT II, Penertiban KJA Kembali MandegPMI Bantu Korban Angin Puyuh
Tidak hanya penjual buah. Semua rakyat dapat rumah gratis. Sekolah gratis. Berobat gratis. Naik bus kota hanya bayar Rp 75. Listrik di rumah hanya bayar Rp 2500/bulan. Bayarnya tiap tiga bulan.
Semua kementerian memiliki BUMN. Misalnya toko buah tadi: di bawah kementerian perdagangan.
Seperti kita dulu. Sebelum memiliki kementerian BUMN. BUMN kita di bawah kementerian bidang masing-masing.
Hanya saja, di kita, waktu itu, masih banyak juga perusahaan swasta. Atau perorangan.
Korea Utara lebih mirip Tiongkok sebelum kepemimpinan Deng Xiaoping. Warung pun milik negara. Lalu terjadilah swastanisasi besar-besaran. Boleh dikata gila-gilaan. Yang dilakukan Deng Xiaoping. Awal tahun 1980-an.
Seperti warung, toko, potong rambut diberikan kepada perorangan.
Yang bentuknya perusahaan kecil dan menengah diberikan kepada tim manajemennya. Suruh menjalankan sendiri. Hasilnya untuk mereka sendiri. Asal tidak minta pesangon pada negara. Asal tidak ada PHK. Kalau pun ada PHK uang pesangonnya cari sendiri.
Jutaan jumlah perusahaan seperti ini. Yang tiba-tiba menjadi milik pengelolanya.
Dalam perkembangannya terjadi banyak kenyataan: ada yang pengelolanya mampu memajukan perusahaan. Ada yang terpaksa mencari partner.
Baca Juga:Kebakaran Hebat Satu Rumah Nyaris HangusBukan Hanya Padamkan Api, Petugas Damkar Purwakarta Mahir Bermain Musik
Perusahaan-perusahaan besar swasta Tiongkok saat ini umumnya berangkat dari cara berpartner seperti itu.
Yang masih dimiliki negara adalah yang besar-besar. Dan yang strategis. Itu pun hanya sebagian yang masih 100 persen milik pemerintah. Sebagian lagi saham pemerintah tinggal 75pct. Atau 50 pct. Atau lebih kecil lagi.