Saya belum tahu model apa yang akan ditempuh Korea Utara. Kalau akan mengubah sistem ekonominya.
Yang jelas kondisi ekonomi Korut sekarang beda dengan Tiongkok 1970. Tidak semiskin Tiongkok waktu itu. Penduduk Korut juga hanya 25 juta orang. Beda dengan beban Tiongkok yang 1,3 milyar.
Korut juga sudah mulai mengenal joint venture. Salah satu dari dua perusahaan telkomnya dijointkan dengan Orascom. Perusahaan terbesar di Mesir.
Baca Juga:Komunitas Petani Demo PJT II, Penertiban KJA Kembali MandegPMI Bantu Korban Angin Puyuh
Itu menimbulkan pertanyaan besar: mengapa pilihannya swasta Mesir. Aneh sekali. Jauh sekali. Mengapa, misalnya, bukan dari Tiongkok. Mengapa bukan dari Singapura. Mengapa bukan Telkomsel.
Demikian juga salah satu gedung baru di Pyongyang. Juga patungan dengan swasta Mesir itu.
Saya bertemu orang Mesir. Di Pyongyang. Di masjid Iran. Untuk salat Jumat bersama. Mereka adalah para eksekutif perusahaan telkom tersebut.
Mereka tidak bisa menjawab pertanyaan saya. ”Kami hanya eksekutif di sini. Tidak tahu ceritanya,” ujarnya. Ia menjadi Imam salat Jumat minggu lalu itu.
Memang sudah lama perusahaan Mesir itu masuk Korut. Saat kelompok Nonblok masih jaya: Indonesia, Mesir, India, Yugoslavia dan Korut anggota pentingnya.
Mula-mula Orascom mendirikan pabrik semen di Korut. Semen memang bidang bisnis utama. Sudah berkembang ke beberapa negara. Orascom lantas dipercaya membangun properti. Gedung baru yang mirip roket biru itu. Lantas dipercaya pula untuk joint dengan perusahaan telkom Korea Utara: Koryolink.
Saya belum tahu masa depan bentuk BUMN di Korut.
Jangan-jangan akan ikut cara Singapura. Perusahaan negara tetap eksis. Sebagai raja. Tapi swasta boleh ada. Biar bersaing.
Hanya Kim Jong-Un yang tahu. Bukankah ia dianggap rakyatnya setengah Tuhan? (dahlan iskan)