oleh Dahlan Iskan
Dari Pyongyang saya harus bermalam di Beijing. Satu-satunya jalan hari itu. Pesawat dari Pyongyang tiba di Beijing sudah jam 5 sore.
Kebetulan pula. Saya harus nonton Liverpool malam itu. Tidak mau meneruskan terbang malam ke Tokyo.
Di Beijing saya tidak pernah mengharapkan ini: bisa nonton liga Inggris di hotel. Biar kelas hotel St Regis sekali pun. Harus cari cafe sport. Nobar di cafe seperti itu.
Baca Juga:Gedung SDN Mendadak Ambruk, Kegiatan Belajar Mengajar TergangguKodim 0604 Terjunkan 162 Personel Bantu Cari Korban Lion Air
Saya pun ke sana. Masih mengenakan jaket. Yang ada lambang bendera Korea Utara.
Cafe itu penuh sesak. Mayoritas kulit putih. Pendukung Liverpool. Saya sendiri yang Indonesia.
Saat saya tiba, ada yang sudah setengah mabuk. Kebanyakan minum bir. Tidak henti-hentinya pula: menyanyikan lagu-lagu Liverpool. Kadang sampai badannya menutupi layar. Saya harus menggeser kepala. Untuk tidak ketinggalan jalannya bola.
Tiba-tiba yang nyanyi-nyanyi itu mendekati saya. Mendekatkan matanya ke jaket saya: ke lambang yang menempel di dada.
Melihat lambang Korea Utara itu ia langsung melupakan Liverpool. Ia berteriak-teriak. Sambil merangkul-rangkul saya. Dari mulutnya keluar aroma bir yang berbusa.
”I love Kim Jong-Un, I love Kim Jong-Il, I love Kim Il Sung,” teriaknya. Berkali-kali. Berulang-ulang. Sambil terus memeluk tubuh saya. Menunjuk-nunjuk lambang di dada saya.
Ia orang kulit putih. Badannya kecil –untuk ukuran orang bule. Saya ingin tahu siapa ia. Tapi masih begitu emosionalnya. Biarlah puas dulu dengan emosinya: memuja Kim Il-Sung. Dalam setengah mabuknya.
Setelah agak reda baru saya rangkul ia. Saya beritahu bahwa saya dari Indonesia. Saya khawatir ia mengira saya dari Korea Utara.
”Saya baru datang dari Pyongyang. Sore tadi,” kata saya: mengapa mengenakan lambang Korea Utara.
Ia ternyata tidak peduli. Bahkan kian semangat.
Baca Juga:Ijan Tidur di Bawah Bayang-bayang Rumah RobohSampah Berserakan di Pantai Tanjungpakis
”Kita semua cinta Kim Jong-Un,” teriaknya. Sambil jalan muter-muter. Di dalam cafe. Sambil menenteng pegangan gelas birnya.
Ternyata ia orang Irlandia. Sudah dua tahun tinggal di Beijing. Membawa serta cinta Liverpoolnya.
Ia adalah guru bahasa Inggris. Untuk anak-anak TK sekolah swasta. Ia menyukai anak-anak. Ia ingin terus memperpanjang kontraknya. Sampai setidaknya lima tahun. Gajinya memuaskannya: Rp 50 juta/bulan.