Nasehat itu yang terus terngiang di telinganya: jadi pengusaha.
Lantas ia ajak Tsuruko bicara. Ia ceritakan nasehat tersebut. “Saya akan tetap bertanggungjawab sebagai suami. Tapi dukung saya. Untuk jadi pengusaha,” ujar Rustono pada calon istrinya itu.
“Saya tidak akan ngrepoti istri. Tapi kalau di awal-awal hidup nanti sulit apakah bisa menerima. Tidak marah-marah. Tidak rewel,” katanya.
Sang calon setuju saja. Pada apa yang diminta maling hatinya itu.
Dasar cinta.
Baca Juga:Polisi Ringkus Penggelapan 12 Kendaraaan Roda 4 dan Amankan Pelaku CuranmorDampak Operasi Zebra, Pemohon Pembuatan SIM Melonjak
Maka berangkatlah keduanya: ke Grobogan. Ke desa kelahiran Rustono. Ke rumah ibunya di desa. Yang lantainya anyaman bambu. Yang dindingnya kayu. Yang dinding dapurnya gedhek. Yang halamannya dipenuhi mangga. Juwet. Dan tanaman singkong.
Rustono berpesan pada ibunya. Agar ada yang bersihkan WC. Yang akan datang ini calon menantu. Dari Jepang pula. Yang begitu tinggi kebersihannya.
Rustono minta restu ibunya. Minta restu ayahnya: ke kuburannya. Lantas berangkatlah si calon pengantin ke Kyoto. Kawin di Kyoto. Tidak ada acara apa pun. Tidak pakai cara apa pun. Hanya ke catatan sipil. Berdua.
Nikah tanpa ada biaya. Sedikit pun.
Hanya sebulan Rustono tinggal di rumah mertua. Lalu mengontrak rumah. Saat empat hari di rumah mertua, Rustono pinjam sepeda adik iparnya. Ia keliling kota Kyoto. Lihat-lihat. Ada peluang bisnis apa.
Kesimpulannya: banyak makanan Jepang yang basisnya kedelai. Berarti lidah Jepang akan bisa menerima tempe.
Tempe!
Membuat tempe!
Bisnis tempe!
Itulah tekadnya. Bulat.
Tapi Rustono belum bisa membuatnya. Ia suka tempe. Waktu di desa. Tapi tidak pernah melihat orang membuat tempe.
Dalam hal ini saya bisa bangga: bisa bikin tempe. Dulu. Suka membantu ibu membuat tempe.
Baca Juga:Toko Jamu Jual Miras Akan DitutupBawaslu Soroti Politisasi Anggaran
Rustono telpon ibunya. Minta diajari cara bikin tempe. Juga minta dikirimi ragi. Bahan kimia alami. Yang bisa membuat kedelai menjadi tempe.
Hambatannya jelas: tidak ada daun. Tapi di Jawa pun tempe sudah bisa dibuat dengan bungkus plastik.
Ia coba bikin tempe yang pertama. Ia beli kedelai 2 Kg. Ia rebus. Ia injak-injak. Seperti di desa. Untuk menghilangkan kulit arinya.