PURWAKARTA-Tajug (mushola kecil) di sudut kampung sudah sejak lama menjadi pusat perubahan masyarakat pedesaan. Fenomena ini disadari oleh Ketua DPD Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi. Terlebih, Mantan Bupati Purwakarta tersebut memegang teguh amanat Sunan Gunung Jati.
Sebagaimana diceritakan dalam berbagai suluk para wali, Sunan Gunung Jati Cirebon pernah memberikan sebuah amanat sebelum meninggal. Amanat tersebut berisi permintaan untuk memelihara tajug dan fakir miskin.
“Ini amanat Kanjeng Sunan Gunung Jati. Saya sebagai warga NU harus patuh terhadap amanat itu. Tajug Al-Jabbar ini beberapa bulan kemarin berada dalam kondisi rusak. Alhamdulillah, sekarang sudah bisa digunakan untuk aktivitas keagamaan dan sosial,” kata Dedi, Rabu (7/10) sore.
Baca Juga:Pemda Tak Mampu Urus Jam di Tugu Lampu SatuKKKS Dorong Kepala Sekolah Tingkatkan Kemampuan
Desain tajug itu tidak meninggalkan aspek kultur khas Sunda. Menurut Dedi, hal ini juga termasuk pengamalan amanat para wali. Saat mendakwahkan Agama Islam, wali Songo tetap mengamalkan perilaku kultural keseharian masyarakat.
“Iya harus ada cita rasa kultur, para Wali kan juga begitu. Fungsinya kita kuatkan, selain untuk mengaji anak-anak, bisa juga kan untuk berbagai kegiatan. Saya kira gak masalah selama tata krama saat berada di tajug dipatuhi,” katanya.
Selain bangunan tajug, Dedi Mulyadi juga membangun tempat wudhu berunsur etnik di sekitar tajug tersebut. Tempat wudhu itu berada tepat di pinggir sumur timba.
Menurut Dedi, dirinya sengaja tidak membelikan pompa dan instalasi air di sumur tersebut. Padahal, warga sempat memintanya. Langkah ini diambil bukan tanpa alasan. Dia menginginkan agar anak-anak di desa itu terlatih secara mental dengan cara menimba air.
“Pakai sumur timba saja. Kita di rumah sudah serba instan, mau wudhu di rumah tinggal puter keran. Anak-anak harus dibiasakan dengan kebiasaan berbeda. Mereka harus terlatih berusaha dulu sebelum mendapatkan air, harus mau menimba air. Nanti ke depan, mereka tumbuh menjadi generasi tangguh,” ucapnya.
Air mata haru sempat menetes di wajah Muhidin (63). Dia merupakan seorang guru ngaji di desa tersebut. Menurut dia, Tajug Al-Jabbar tidak pernah direnovasi sejak Tahun 1970 atau sejak pertama kali berdiri. Padahal, permohonan bantuan sudah dia layangkan ke berbagai instansi dan organisasi.