Rashida anak ke dua dari 14 bersaudara. Ayahnya yang pegawai pabrik mobil meninggal dunia.
Detroit memang kota mobil. Yang ditinggalkan pabrik-pabriknya. Satu persatu. Banyak pengungsi dari Irak, Iran dan Palestina di sini. Tapi pemilih suku Arabnya hanya 2 persen.
Waktu ke Detroit dulu saya bisa merasakan proses pemiskinan di sini. Suasana kotanya tidak hingar-bingar lagi. Bagian menariknya tinggal pinggir danau. Yang menghadap ke kota di seberang danau: Kanada.
Setiap kali naik taksi, sopirnya pasti ketunan Arab: Palestina atau Iraq.
Baca Juga:Dinkes Akan Bangun RSUD Tipe C, Siapkan Rp10 M untuk Beli LahanKPU Sudah Terima 31.790 Kotak Suara
Terpilihnya Ilhan Omar lebih menarik lagi. Juga wanita. Juga Islam. Berjilbab. Dari suku Somalia. Dan masih lahir di Somalia.
Tiba di Arlington, Amerika, Ilhan belum bisa berbahasa Inggris. Lalu pindah ke Minneapolis. Di negara bagian Minnesota.
Di sini memang banyak warga asal Somalia. Saya bisa melihat dengan cepat. Begitu banyak keturunan Somalia. Sekitar 200.000 orang.
Saat ingin salat Jumat saya bertanya ke Google: di mana ada masjid near me. Saya pun ke situ. Ternyata masjid Somalia. Dengan mayoritas jamaah asal Somalia. Saya ingin wawancara yang bukan Somalia. Tidak ketemu. Apalagi waktu ke mall. Yang terbesar di Amerika itu. Begitu banyak ketemu orang berjilbab di dalamnya.
Di Minneapolis itulah Ilhan belajar bahasa Inggris. Anak cerdas. Tiga bulan sudah jago. Lalu masuk universitas: jurusan ilmu politik.
Ilhan punya pesaing sesama aktivis asal Somalia. Ahli komputer. Tapi Ilhan selalu unggul.
Perkawinan pertamanya gagal. Cerai. Saat sudah punya dua anak. Lalu kawin lagi. Cerai lagi. Dan kini Ilhan berumur 37 tahun. Sudah kawin lagi. Dengan suami pertamanya dulu: Ahmed Hirsi.
Baca Juga:PUPR Mulai Perbaiki Jalan dan JembatanLongsor di Desa Cikeris Tutup Akses Jalan
Saya bisa merasakan apa yang dirasakan Trump saat ini: kok justru para imigran ini terpilih jadi anggota DPR. Kim yang Korea. Rashida yang Palestina. Ilhan yang Somalia. Belum lagi yang John Liu di New York.
Padahal di minggu terakhir masa kampanye Trump turun sendiri ke lapangan: meningkatkan nada kebenciannya pada imigran.
Sungguh menarik melihat permainan berikutnya: DPR mengusut Trump. Di banyak hal: laporan pajaknya, anti imigrannya, tembok pemisahnya, keterlibatan Rusianya dan juga menantunya.