(Oleh : Ridho Budiman Utama,
Anggota Komisi II DPRD Jawa Barat)
Ketersediaan pangan yang cukup dalam rangka mewujudkan swasembada pangan terutama dalam bidang peternakan menjadi sebuah keharusan di samping terpenuhinya kebutuhan bibit. Kesiapan untuk menyediakan pakan sesuai dengan kebutuhan dan harga relatif terjangkau akan sangat menentukan keberlanjutan usaha peternakan di berbagai daerah. Di samping itu kualitas pakan maupun bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan pakan pun akan berpengaruh terhadap jumlah maupun mutu dari output yang dihasilkan.
Adapun ketersediaan hijauan pakan di Indonesia merupakan salah satu persoalan yang dihadapi oleh peternak saat ini. Hal tersebut terutama sangat dirasakan oleh mereka yang bergelut di bidang usaha pembesaran sapi maupun kambing. Padahal, potensi yang kita miliki untuk menghasilkan pakan sangatlah tinggi apabila lahan yang tersedia benar – benar dikelola dengan baik. Selain dianugerahi dengan luasnya lahan, kesuburan tanah pun seyogyanya menjadi anugerah tersendiri yang patut kita syukuri.
Di sisi lain, upaya pemerintah dalam mengelola kebutuhan pangan untuk konsumsi masyarakat maupun untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak nampaknya belum menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Setelah kebijakan import beras dipersoalkan berbagai kalangan, kini masyarakat pun mempertanyakan tentang urgensi kebijakan import jagung yang dikeluarkan dalam waktu dekat. Pemerintah berencana melakukan import jagung sebesar 50.000 – 100.000 ton jagung pada akhir tahun 2018 ini untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pakan ternak di tanah air. Kebijakan tersebut dipersoalkan oleh banyak kalangan karena Kementerian Pertanian sendiri mengklaim bahwa Indonesia memiliki surplus Jagung sebanyak 12 juta ton lebih. Indonesia bahkan mengekspor Jagung ke negara Filipina dan Malaysia sebanyak 372 ribu ton lebih.
Baca Juga:Sedekah Laut Pertanda Mulai Pembangunan Pelabuhan Patimban, Berharap Proyek Berjalan Aman dan LancarToshihiko Tamaki: Terkesan Kesenian Sisingaan Khas Subang
Polemik terkait kebijakan import jagung tersebut pada akhirnya menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat. Berbagai asumsi pun diutarakan oleh para ahli dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang dipandang tidak masuk akal tersebut. Sebagian kalangan menilai, kebijakan import jagung tersebut merupakan bukti nyata bahwa data terkait ketersediaan jagung sebagaimana diklaim oleh Kementan tidaklah sesuai dengan realita di lapangan. Secara logika, jika kita benar – benar memiliki surplus jagung, lalu apa urgensinya melakukan import. Namun, tidak sedikit juga yang menganggap bahwa kebijakan import jagung maupun beras di saat produksinya cukup melimpah tidak dapat dilepaskan dari para pencari rente yang berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar – besarnya, terlebih di tahun politik.