0 Komentar

Tentu saya langsung menanyakan ini: bagaimana perkembangan susu bubuk autisnya.
Nana tidak segera menjawab. Wajahnya menunduk. Matanya sembab.

Saya tahu apa yang terjadi di balik kesedihannya itu.

Nana menghentikan usahanya.

Mengapa?

Beberapa usaha makanan temannya digerebek. Tidak punya izin. Ilegal. Jadi perkara. Jadi pemberitaan media.

Nana tidak mau usahanya digerebek seperti itu. Nana pilih menghentikannya. Kepada pelanggannya Nana beralasan: lagi melakukan perbaikan alat-alat produksi.
Nana tahu itu bohong. Tapi dia ingin menyelamatkan resep rahasianya. Untuk masa depannya.

Baca Juga:Jokowi Ungguli Survei, Dedi Minta Timses Hentikan Lapor MelaporRatusan Botol Miras Disita

Tapi Nana juga tidak tahu: kapan bisa produksi lagi. Dengan izin yang resmi. Agar tidak digerebek.

Untuk dapat izin, alat-alat produksunya harus baik. Harus standar untuk peralatan produksi makanan dan minuman. Yang lebih ketat dibanding produksi apa pun.

Berarti perlu modal besar. Perlu lokasi dan bangunan yang memenuhi syarat pula.
Nana hampir saja menyerah: menjual resepnya itu. Ke perusahaan asing. Perusahaan susu dari Kanada.

Nana sudah sering dihubungi. Rupanya perusahaan Kanada itu sempat memonitor pemasaran susu bubuk milik Nana. Yang menjadi pesaing di kelasnya.

Itulah sebabnya Nana menemui saya. Minta pendapat saya.

Saya tidak sampai hati kalau Nana harus menyerah ke perusahaan asing. Itu melawan hati nuraninya.

Maka saya pun mencarikan jalan keluar. Saya ajak dia meninjau lokasi yang saya incar.

Tiba-tiba saya mendengar ini: Nana meninggal dunia.

Terkena kanker pankreas. Yang tidak pernah dia rasakan.

Kalah dengan antusiasmenya.

Saya pun melayat ke rumahnya. Setelah saya menjadi pembicara di seminar internasional Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia.

Baca Juga:Tanah Labil Rentan LongsorDesa Legok Huni Deklarasikan Bersih Narkoba

Tiba di rumahnya saya disambut seorang lelaki tua di kursi roda. ”Saya ayah Nana,” katanya lirih. ”Nama kita sama, Dahlan,” tambahnya.

Oh makanya nama lengkap Nana adalah Nana Dahlan. Ia seorang pensiunan jaksa.

Tapi jenazah Nana lagi dibawa ke masjid. Siap-siap dimakamkan setelah salat dzuhur.
Saya pun ke masjid. Berdoa di dekat kerandanya.

Lalu ada anak muda yang memperkenalkan diri. ”Nama saya Rangga,” katanya.
Itulah anak Nana yang dulunya autis. Sekarang smester pertama di fakultas hukum sebuah perguruan tinggi swasta.

0 Komentar