Memasuki revolusi industri keempat atau yang juga dikenal dengan istilah revolusi 4.0, perguruan tinggi dituntut untuk mampu beradaptasi dengan perubahan zaman melalui pengembangan berbagai program kegiatan. Melakukan penyesuaian kurikulum, melahirkan pembelajaran yang inovatif, serta meningkatkan kemampuan mahasiswa di bidang teknologi informasi merupakan langkah strategis yang harus ditempuh oleh perguruan tinggi untuk dapat melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki daya saing tinggi. Dalam hal ini, perguruan tinggi memegang peranan penting dalam menghadapi datangnya bonus demografi yang akan kita hadapi dalam beberapa tahun mendatang. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Asep Kadarohman saat memberikan sambutan pada acara wisuda di kampus UPI Bandung beberapa waktu lalu.
Di lain pihak, rendahnya kompetensi (sebagian) guru masih menjadi pekerjaan rumah yang entah kapan dapat diselesaikan. Pengamatan terhadap mutu pendidikan secara global (Global Education Monitoring) yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 2016 lalu menyebutkan, Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke – 10 dari 14 negara berkembang yang diteliti. Ironisnya, komponen paling penting dalam proses pendidikan yaitu guru justru menempati peringkat terakhir. Sungguh mengharukan !
Rendahnya kompetensi bukanlah satu-satunya persoalan yang dihadapi oleh para guru di tanah air. Persoalan integritas ataupun moral pendidik masih menjadi pekerjaan rumah yang entah kapan dapat diselesaikan. Masih ditemukannya (oknum) guru yang kurang memperhatikan kode etik serta bertindak indisipliner merupakan pemandangan yang masih dapat kita temui di beberapa sekolah. Diantara mereka bahkan ada yang terjerat kasus tindak kekerasan fisik maupun seksual terhadap peserta didiknya. Tak heran apabila pendidikan karakter yang selama ini didengung-dengungkan pun semakin jauh panggang dari api.
Baca Juga:BPD Mitra Kerja Kades, Harus Bersinergi dan Serap AspirasiCTKI Harus Terampil Dan Bisa Berkomunikasi
Potret buram pendidik negeri ini sebagaimana digambarkan oleh penulis di atas seakan mengkonfirmasi pendapat para ahli yang mengatakan bahwa persoalan sesungguhnya yang dihadapi oleh dunia pendidikan saat ini bukanlah kurikulum ataupun personil di tingkat pengambil kebijakan, melainkan ada pada guru itu sendiri. Perubahan kurikulum, pergantian Menteri Pendidikan ataupun pejabat setingkat Dirjen tidak akan memberikan dampak berarti selama program peningkatan kompetensi serta pembinaan guru belum dijadikan prioritas utama. Sebaliknya, memaksa seluruh sekolah untuk menerapkan kurikulum yang sama serta memberlakukan evaluasi hasil belajar dengan tingkat kesulitan yang sama hanya akan semakin menjauhkan pendidikan dari tujuan yang ingin dicapainya.