Tapi….
Sebenarnya ada penyebab lain: ada madrasah ibtidaiyah baru di desa kami. Yang full day school. Yang enam hari seminggu. Yang gurunya muda-muda. Yang mutunya lebih unggul. Plus pendidikan agama.
Pendirinya adalah anak muda: Tjipto. Dulu saya minder bergaul dengannya. Ia anak orang terkaya di desa kami. Yang belakangan paling rajin ke masjid.
Bahkan menyekolahkan anaknya itu ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Kami semua kaget.
Kami yang miskin itu, yang dulunya hanya bangga karena lebih rajin ke masjid, kian minder dengan keluarga pak Hardjo itu.
Baca Juga:Rumah Kebakaran, Dalang Cilik Ki Dodo Hanya Berhasil Selamatkan Wayang GolekPeringatan HKN Ke-54 Berlangsung Meriah
Setamat dari Gontor, sang anak mendirikan madrasah ibtidaiyah itu. Lalu tsanawiyah (SMP). Dan kini merintis Aliyah (SMA).
Tidak lama kemudian sang pendiri meninggal dunia. meninggal muda. Kini madrasah dipimpin adiknya.
Saya sempatkan mampir ke madrasah itu. Saya ingat: waktu kecil dulu sering jadi buruh di perusahaan bapaknya. Kerja melipat kertas. Saat liburan sekolah.
Saya juga ingat janji saya: mampir ke pusat terapi Choyang. Di kota Madiun. Dalam perjalanan pulang ke Surabaya.
Benar sekali. Di pinggir jalan utama kota Madiun itu mobil berjajar. Saya pun memasuki bangunan yang dulunya toko.
Udara dalam ruangan ini panas. Pengab. Tidak ada AC. Tidak ada jendela. Hanya ada kipas angin.
Manusia berjubel. Ratusan. Ada yang lagi terapi: satu sesi 38 orang sekaligus. Lainnya sedang duduk di bangku-bangku panjang: menunggu giliran.
Baca Juga:Bumdes Karya Gumilang Kembangkan Jamur ChitakeCegah Banjir Koramil Jumsih di Jembatan Cisalak
Terapi itu berlangsung setengah jam. Pasien tidur telentang di atas alat: mirip tempat tidur lipat. (Lihat foto di Instagram DahlanIskan19).
Alas tempat tidur itu dihangatkan dengan listrik. Di dalam alasnya ditanam batu-batu: delapan jenis batu. Yang bereaksi akibat panas listrik. Ada pula benda yang bergerak: seperti memijat. Ke seluruh punggung.
Saat saya tiba, grup yang lagi terapi sudah hampir 30 menit. Hampir tiba giliran grup berikutnya: 38 orang lagi. Yang lagi menunggu itu. Yang sedang dibariskan. Mengikuti gerak senam yang dicontohkan dari atas panggung. Senam gembira. Sambil nyanyi-nyanyi. Sambil teriak-teriak.
Selesai senam itulah mereka menuju ‘tempat tidur’ terapi. Merebahkan diri. Diam. Diterapi secara otomatis.