Kedua, membenahi manajemen data pertanian. Kisruh terkait import beras dan jagung yang terjadi beberapa waktu lalu hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi Kementerian terkait dalam proses pengambilan kebijakan. Kebijakan import beras menjelang masa panen dan import jagung di saat stok tengah melimpah merupakan kebijakan keliru yang merugikan kepentingan para petani. Artinya, keran import sebaiknya dibuka apabila ketersediaan pangan di dalam negeri memang benar – benar tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, akurasi data terkait jumlah kebutuhan dan ketersediaan pangan menjadi keharusan.
Ketiga, menyusun kurikulum SMK berbasis potensi daerah. Berdasarkan data dari Kemendikbud, jumlah SMK yang ada saat ini adalah sebanyak 2.944 SMK dengan jumlah siswa mencapai 459.738. Dengan 1.374 bidang keahlian yang tersedia, seluruh SMK tersebut meluluskan kurang lebih 111.984 siswa setiap tahunnya. Namun, jumlah lulusan yang belum terserap lapangan kerja masih cukup tinggi. Pada bulan Agustus 2018 saja, presentase pengangguran lulusan SMK adalah sebanyak 16,97 persen dari total penduduk Jawa Barat. Adapun bidang keahlian yang tidak sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan maupun potensi daerah setempat menjadi penyebab utama tingginya pengangguran di kalangan lulusan SMK tersebut.
Artinya, pendirian SMK serta penyusunan kurikulum pendidikan hendaknya benar – benar disesuaikan dengan potensi yang ada di daerah tersebut. Untuk daerah Subang bagian utara, pendirian SMK Pertanian akan lebih bermanfaat bagi para lulusannya karena ketersediaan lahan pertanian yang cukup luas. Pun demikian dengan daerah kabupaten Pangandaran, pembukaan SMK dengan jurusan Pariwisata lebih dibutuhkan dibandingkan dengan jurusan lainnya.
Baca Juga:Dirut Baznas Ungkap Tiga Strategi Penggalangan DanaPemkab Segera Tetapkan Siaga Bencana
Keempat, mengendalikan alih fungsi lahan. Pembangunan pelabuhan Patimban secara tidak langsung akan berdampak pada berkurangnya lahan pertanian. Begitu juga dengan massifnya pembangunan pemukiman di daerah pinggiran kota Subang serta berkembangnya kawasan industri. Fenomena tersebut hendaknya disikapi secara serius dengan meninjau kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada. Apakah terjadi pelanggaran dalam proses alih fungsi lahan tersebut ataukah tidak. Selain itu pemerintah daerah pun diharapkan aktif dalam mencari lahan pengganti pertanian yang telah beralih fungsi.
Kelima, memberikan insentif khusus kepada daerah – daerah ataupun kelompok tani yang berhasil meningkatkan hasil produksinya maupun mereka yang mempertahankan lahannya agar tidak beralih fungsi. Insentif tersebut dapat berupa dana hibah, kemudahan akses permodalan untuk pengembangan usaha, sampai dengan pelatihan khusus untuk meningkatkan keahlian para petani dalam mengolah ladangnya. Peningkatan kompetensi tersebut sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian. (*)