Oleh: Dahlan Iskan
“Saya ini hanya menanam akarnya,” ujar Bu Nurhayati, pemilik kosmetik Wardah. “Anak-anak kami yang membesarkannya,” tambahnya.
Bu Nurhayati punya tiga anak. Yang dua, laki-laki. Mengikuti jejaknya: kuliah di ITB. Hanya beda-beda jurusan. Sang ibu kuliah di farmasi. Anak pertama ambil kimia. Anak kedua belajar elektro.
Putrinya yang memilih UI: masuk fakultas kedokteran. Pilih menjadi spesialis kulit.
Baca Juga:Atas Laporan Warga, Polisi Sita Puluhan Miras di Rumah KontrakanPPI 33 Al-Manar Optimalisasi Program Germas
Suami Bu Nurhayati sendiri juga lulusan ITB. Kimia. Di ITB lah cinta bersemi. “Kampus kimia dan farmasi kan berdekatan,” katanya dengan tersenyum.
Nurhayati lulus ITB dengan nilai tertinggi: cum laude. Lalu kuliah apoteker.
Keinginan awal Nurhayati menjadi dosen. Dia melamar ke ITB. Ditolak. Nurhayati pulang ke Padang. Membawa pertanyaan tak terjawab: mengapa ditolak jadi dosen.
Di Padang Nurhayati bekerja di rumah sakit.
Pacaran berlanjut. Jarak jauh. Pacarnya bekerja di perusahaan minyak.
Setelah menikah Nurhayati ikut suami: pindah ke Jakarta. Bekerja di Wella. Merk kosmetik yang terkenal kala itu. Yang pasar terbesarnya di salon-salon kecantikan. Belum ada mall di zaman itu.
Lima tahun Nurhayati bekerja di Wella. Di bagian laboratorium. Yang memeriksa ramuan-ramuan kosmetik Wella.
Ketika akhirnya punya anak Nurhayati berhenti bekerja. Merawat anak. Lahir pula anak kedua. Dan ketiga.
Ketika anak bungsu tidak menyusu lagi Nurhayati mulai berpikir punya usaha.
Yang terpikir pertama langsung kosmetik. Sesuai dengan pendidikannya. Sesuai dengan pengalaman kerjanya.
Kosmetik pertamanya itu dia beri merk Putri.
Tidak laku.
Tidak ada salon yang mau menerimanya.
Tetangganya menyarankan ini: kerjasama samalah dengan pesantren. Kebetulan tetangga itu keluarga pesantren Hidayatullah. Yang punya jejaring pesantren di mana-mana.
Baca Juga:Sisi Lain Peringatan Maulid Nabi Muhammad, Seorang Katolik Khusyuk Petik Ku ChengKejati Sita Ratusan Dokumen di Kantor PDAM, Segera Tetapkan Tersangka
Kebetulan juga Hidayatullah punya devisi ekonomi. Berbisnis di banyak bidang. Termasuk ritel.
Tim ekonomi Hidayatullahlah yang minta merk Putri diubah. Menjadi Wardah. Artinya: mawar. Disertai tulisan Arab yang berbunyi Wardah. Di logonya.
Mulailah Wardah dipasarkan di pesantren-pesantren.
Tidak laku.
“Santri kan tidak pakai kosmetik,” ujar Bu Nurhayati mengenang. “Waktu itu”.
Lalu terjadilah reformasi. Tahun 1998. Rupiah anjlok.