Kosmetik impor mahal sekali. Banyak sekali PHK. Korbannya orang-orang yang sudah biasa bekerja. Pada pereode PHK itulah mereka kerja apa saja. Banyak yang terjun ke multi level marketing.
Bu Nurhayati memanfaatkan peluang itu. Wardah dimultikan. Mulailah Wardah mendapat celah.
Produksi pun meningkat.
Rumahnya tidak cukup lagi. Dia beli tanah 1,5 ha. Murah. Di pinggiran Tangerang. Dengan dana sendiri.
Akan dibangunnya pabrik di situ. Pelan-pelan. Dengan dana sendiri.
Kebakaran.
Rumahnya terbakar.
Pabrik belum jadi.
Produksi terhenti.
Pasar yang mulai terbentuk terancam: tidak ada lagi suplai.
Politik berbalik arah. Setelah reformasi itu.
Tuntutan keadilan kian nyaring. Pasca reformasi. Termasuk keadilan ekonomi.
Baca Juga:Atas Laporan Warga, Polisi Sita Puluhan Miras di Rumah KontrakanPPI 33 Al-Manar Optimalisasi Program Germas
Bank mulai menyalurkan kredit untuk usaha kecil. Nurhayati mencobanya. Minta Rp 50 juta. Bank memeriksa kemampuan Wardah. Termasuk menghitung masa depannya. Menilai jaminannya: lebih dari cukup. Bank memberinya kredit Rp 140 juta.
Pabrik pun jadi.
Sederhana.
Anaknya lulus ITB.
Mau membantu ibunya.
Anak kedua juga lulus ITB.
Juga mau ikut di perusahaan.
Nurhayati membagi tugas:
Anak pertama mengembangkan pasar di wilayah barat Indonesia.
Anak kedua di wilayah timur.
Urusan produksi cukup ibunya. Menyangkut resep yang belum waktunya dibagi.
Ada pelajaran menarik yang diceritakan Bu Nurhayati. Tentang pembagian tugas anaknya itu. Satu pelajaran manajemen yang mahal nilainya.
Tunggulah besok. (dahlan iskan / bersambung)