CIREBON-Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cirebon telah mengajukan titik pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kecamatan Gempol ke Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan (DPKPP). Namun, masyarakat Desa Palimanan Barat (Palbar), Kecamatan Gempol tetap menolak rencana Pemerintah Kabupaten Cirebon tersebut.
Warga setempat, Saefudin Romli menuturkan, rencana pembangunan TPA di Palbar muncul sejak Camat Suharto, namun sejak saat itu pula warga menolak keras. Sebab, camat mengusulkan tanpa ada sosialisasi kepada warga. Alhasil, terjadi gejolak di masyarakat. “Kala itu camat tetap memaksakan. Saat sosialisasi, dari 15 RW hanya satu yang hadir. Semua RW sudah sepakat dan kesepakatan itu dituangkan pada musyawarah desa (musdes),” jelas Romli kepada Radar Cirebon.
Menurutnya, beberapa kali pihak kecamatan memfasilitasi sosialisasi TPA dengan menghadirkan Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kesehatan, Bidang Pertanahan dan instansi lain. Namun yang datang hanya pertanahan. Warga tetap menyampaikan penolakan. Malah pertanahan bilang kalau ada penolakan ya harus cari lokasi lain.
Baca Juga:Ruwatan Bumi Gelar Produk DesaGerakan Kerja Pamong Belajar Cinta Masyarakat
Sementara itu, Ketua RW 13, Sumarno menegaskan, meskipun sudah dianggarkan pemerintah daerah, pihaknya tetap akan melakukan penolakan dalam bentuk apapun. Meskipun penolakan dilakukan secara prosedur. “Kami harap, ketua DPRD yang berasal dari dapil kami ini bisa memperjuangkan aspirasi penolakan ini. Kalaupun penolakan harus dilakukan secara prosedur ya kami siap. Tapi, ketika langkah kami tidak digubris, kami siap melawan,” terangnya.
Terpisah, Ketua DPRD H Mustofa SH mengatakan, dalam reses ketiga di Desa Palimanan Barat banyak masukan, kritik dan saran berkaitan penolakan dari warga atas kebijakan pemerintah daerah menentukan lokasi TPA di wilayah Palbar. “Saya kaget. Makanya menyempatkan tinjau langsung lokasi TPA. Sedangkan pemerintah daerah mengusulkan anggaran Rp7 miliar untuk TPA dan saya setujui. Kalau ternyata ada penolakan, saya merasa dibohongi,” imbuhnya.
Menurutnya, ketika pemerintah daerah mengusulkan anggaran, harusnya sudah berdasarkan kajian dan rencana matang. Tapi kalau masih ada penolakan, maka DLH harus mencari wilayah lain. Artinya, ini kali kedua pihaknya dibohongi eksekutif. Katanya kondusif, ternyata di bawah masih ada gejolak. “Kasihan warga sudah banyak dirugikan. Kaitan polusi, macet dan kekurangan air. Ditambah ada praktik prostitusi terselubung. Aparat terkait bisa tindaklanjuti. Kalau siang memang tidak terlihat, karena aktivitasnya malam,” ucapnya.