Oleh: M. Firaldi Akbar Zulkarnin
Sudahkah anda mengucapkan selamat hari Ibu kepada Ibu anda hari ini? Tentunya sudah. Kasih sayang dan perhatian seorang Ibu pada anaknya memang tidak tergantikan dan tidak terlupakan, bahkan ingatan kita tentang Ibu selalu berada bersama kita kapanpun dan dimanapun. Tapi, apakah perasaan emosional ini perlu dirayakan secara nasional, atau cukup disimpan dalam hati perlu ditelaah nilainya lebih dalam.
Perayaan hari Ibu secara nasional pada tanggal 22 desember sebenarnya lebih dari ungkapan kasih sayang pada Ibu. Hari Ibu di Indonesia perlu dimaknai setara dengan hari perempuan internasional yang merupakan ingatan dari perjuangan kaum perempuan baik secara sosial, politik dan ekonomi. Perjuangan hak asasi, kesetaraan dan emansipasi kaum perempuan untuk berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan kaum laki-laki yang terus menjadi semangat perjuangan kaum perempuan di seluruh dunia.
Di Jawa Barat, perjuangan ini diingat melalui perjuangan Dewi Sartika, seorang perempuan Sunda yang mendorong maju kaum perempuan Sunda dari sekat-sekat konservatifisme masyarakat kolonial melalui pendidikan. Dewi Sartika adalah salah satu dari sebagian kecil perempuan yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan di masa colonial. Sebagai seorang perempuan terpelajar, Keresahannya muncul dari kesehariannya di masa muda ketika bermain dengan teman-teman sebayanya.
Baca Juga:Jangan Remehkan Pedagang Timbel, Omzet Sehari Bisa Rp2,5 JutaPembangunan Diorama Wisma Karya Hampir Rampung
Ia sering membacakan surat untuk temannya, bahkan kadang menggoda temannya dengan menyisipkan candaan ketika ia membaca surat untuk temannya. Baginya, kejadian ini tidak hanya lucu namun juga inspiratif, seperti Newton ketika mendapatkan inspirasi dari apel yang jatuh. Melalui pengalaman ini, Ia sadar bahwa perempuan pada masa itu jarang yang dapat mengenyam pendidikan, bahkan sebagian besar dari mereka tidak memiliki kecakapan membaca dan menulis, disamping pengetahuan umum lainnya (Stuers, 2017:70). Dewi Sartika ingin kaum perempuan juga berpendidikan setara dengan kaum laki-laki, mampu mengerjakan pekerjaan yang juga dilakukan oleh kaum laki-laki bahkan mampu mengimbangi kecakapan kaum perempuan dari colonial. Tentunya, tanpa melupakan perannya sebagai perempuan bagi keluarga dan masyarakatnya.
Pada usia yang masih belia, Dewi Sartika yang baru berumur 20 tahun sudah merintis Sakola Istri, sebuah lembaga pendidikan untuk kaum perempuan dimulai dari 20 orang murid yang kebanyakan merupakan anak-anak dari pegawai rendah di Kabupaten Bandung. Hanya beberapa tahun saja dengan dukungan suaminya, Raden Agah Suriawinata, Sakola Istri berkembang cukup pesat. Bahkan pada 1912, Sakola Istri membuka cabang di sembilan kabupaten di Priangan. (Stuers, 2017, hlm. 70).