Sopir saya itu, yang kemudian seperti teman itu, semula takut. Ketika saya minta diantar ke pusatnya Druze. Tapi uang mengalahkan rasa takutnya.
Apalagi ketika saya minta pergi ke Moukhtara. Ke istana Walid Jumlatt yang jauh di gunung itu. Harus mengemudi jauh ke arah selatan.
Menyusuri pantai selama satu jam. Lalu belok ke gunung. Terus ke gunung berikutnya. Ke gunung berikutnya lagi.
Baca Juga:KPPN Serahkan DIPA 2019 kepada 59 Satuan Kerja, Total Anggaran Mencapai Rp 3,5 TriliunBerkedok Jualan Es, Dua Ibu Rumah Tangga Jual Miras
Meliuk-liuk. Menanjak. Selama satu jam. Seperti ke kawasan museum penyair Khalil Gibran.
Hanya saja yang ini di arah sebaliknya: di Lebanon selatan. Ia takut bukan main. “Nanti kita ditembak,” katanya.
Berkali-kali. Sambil tidak yakin saya mengerti peringatannya. Lalu menunjukkan gerakan tembak-tembakan. Dengan tangan dan jarinya.
All about money. Ia berangkat juga. Sampailah saya ke istana Kamal Jumlatt itu. Yang kini ditempati anaknya, Walid Jumlatt.
Takut sekali. Sopir saya itu. Saya tahu. Atau menduga. Masih ada trauma di pikirannya. Atau curiga. Akibat cerita yang melegenda.
Permusuhan antara kelompoknya. Dengan kelompok Druze sepanjang masa. Masa lalu.
Memang kami tidak diizinkan masuk. Banyak tentara yang menjaga. Tapi saya santai saja. Dataran tinggi komplek istana ini indah di mata. Lima jam di situ pun akan saya jalani. Menunggu redanya ketegangan. Di dalam hati para penjaga itu.
Saya pun menyapa satu persatu orang di situ. Dengan ramah. Saya sapa juga laki-laki tua itu. Yang berpakaian khas orang Druze: celana hitam yang kombor di selangkangannya. Dengan penutup kepala putih. Seperti topi haji. Tapi kecil. Seperti Yahudi.
Luar biasa. Druze tua itu baik sekali. Ramah sekali. Saya justru diajaknya masuk kantin. Yang menjadi bagian istana. Sopir saya ikut. Sambil takut-takut.
Baca Juga:Iik Selamat dari Gulungan Ombak Tsunami di BantenBelasan Warga jadi Korban Bencana Tsunami, Satu Meninggal Dunia, Saat Berlibur di Banten
Padahal saya justru disuruh makan. Alhamdulillah. Istrinya yang menyajikan makanan: nasi hitam berminyak. Entah makanan apa itu. Saya kuatkan tenggorokan saya. Untuk bertekad memakannya. Apa pun rasanya nanti.
Saya robek juga roti tipis yang lebar itu. Betapa pun liatnya. Saya sendok pula acar zaitun itu. Betapa pun asin kecutnya. Ternyata itulah nasi bulgur. Baru sekali ini saya akan makan bulgur.