Oleh: I Nyoman Sulingga
*) Pengamat Sepak Bola
Juara Liga Indonesia sudah jelas kini. Persija Jakarta berhasil menjadi juara dengan keunggulan tipis atas PSM Makassar. Di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Persija menang 2-1 atas lawannya, Mitra Kukar.
Akan tetapi, keberhasilan Persija menjadi juara ini diiringi dengan berbagai pernyataan sinis dengan adanya pengaturan skor. Ada orang yang mengatakan bahwa Persija memang di-setting untuk menjadi juara tahun ini. Bahkan, juga dikatakan pada kompetisi tahun depan, yang akan menjadi juara sudah ditentukan. Bayangkan, kompetisi belum mulai juara malah sudah dapat ditentukan. Inilah hebatnya masyarakat Indonesia, mengetahui masa depan tanpa dapat belajar dari masa lalu.
Kecurigaan terhadap adanya suap di jagat sepak bola Indonesia itu konon dirasakan setelah adanya kejanggalan pada beberapa pertandingan terakhir. Di antaranya kekalahan beruntun Bali United atas lawan-lawannya. Gejala apa ini dalam masyarakat Indonesia?
Baca Juga:Patimban Ditarget Desember RampungSMP/MTs Al-Muhajirin Observasi ke Gedung DPR
Jika suap itu benar adanya, maka dapat dikatakan bahwa ada beberapa hal yang menjangkiti masyarakaf Indonesia. Yang pertama adalah tidak dapat memperbaiki diri dengan memanfaatkan masa lalu. Kedua, mempunyai jiwa ngemplang, ngompas, malas berusaha. Ketiga, tidak mempunyai dorongan untuk memperbaki kondisi negara.
Suap dalam jagat sepak bola Indonesia bukan merupakan sesuatu yang baru. Dekade tujuh puluhan, ketika nama-nama besar masih bercokol di sepak bola seperti Rony Paslah, Oyong Liza, Iswadi Idris, isu suap itu telah muncul.
Ketersisihan kesebelasan nasional Indonesia di Pra-Piala Dunia 1977 di Singapura pada waktu itu, sering dikait-kaitkan dengan kasus suap. Ini berlanjut pada era dekade delapan puluhan di masa Elly Idris dan Robby Maruanaya. Tindak untuk menghukum pemain sudah dilakukan. Ketika era galatama bergulir, juga dekade delapan puluhan, kompetisi sepak bola di Indonesia hancur lebur karena skor pertandingan bisa diatur.
Hancurnya sepak bola Indonesia dekade tujuh puluhan memberikan inspirasi untuk membuat sistem baru dalam kompetisi Indonesia, yaitu liga sepak bola utama (galatama). Dengan tujuan memperbaiki kualitas tim sepak bola Indonesia, tetapi metode ini juga tidak berhasil memperbaiki kualitas tim Indonesia. Suap masih muncul dan sepak bola Indonesia masih tidak beranjak prestasinya.