JAKARTA – Seluruh isi ruangan berwarna merah. Ribuan partisan berkali-kali bersorak. Merdeka, Metal, Jokowi-Amin, kata-kata itu menggema terus-menerus di Jakarta Internasional Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (10/1).
Yang hadir bukan cuma kader, ada juga ketua partai, sejumlah menteri, calon presiden dan wakilnya, dan beberapa anggota DPR RI. Ribuan kader dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menghadiri Rapat Koordinasi Nasional.
Saat Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri naik panggung, ribuan kader kembali bersorak. Metal, mega total, metal, merah total, metal, menang total. Sesaat, semua hening. Ingin mendengarkan pidato Megawati. Mantan Presiden ke-5 itu berbicara tentang perjalanan partai dengan lambang banteng moncong putih.
Baca Juga:Kepala Desa Harus Merumuskan Program Hasil MusdesYuli: Dorong Keterpilihan Perempuan di DPRD
“Dahulu, partai yang dibentuk 1973 itu bernama Partai Demokrasi Indonesia. Yang merupakan gabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, Murba dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia.
Medio 1997, beberapa saat sebelum pencoblosan dirinya didatangi beberapa orang. Dirinya diminta untuk tidak dipilih dalam pemilu saat itu. Hak yang boleh digunakan hanyalah hak memilih, kata Mega menirukan.
Mega masih bercerita. Kepada para anggota PDI, Mega menyampaikan dirinya tetap berniat mencoblos di pemilu. Ia juga meminta kepada kader untuk menggunakan hak pilihnya. Mega berfikir, jika saat itu kadernya akan manut.
“Saat pencoblosan, keluarga saya di Blitar ada yang meninggal, selama prosesi penguburan, saya tetap ditunggu oleh KPU yang saat itu namanya LPU,” ucap Mega mengenang kejadian tersebut.
Tapi kenyataan berkata lain. Mega pasrah, saat itu banyak anggota dan kader PDI yang tidak ikut memilih.
Suara PDI turun drastis. Akibatnya, pada pemilu 1999 PDI diberbolehkan ikut pemilu dengan catatan wajib mengganti namanya. Saat pendaftaran nama partai, kata perjuangan ditambahkan di belakang. Dan disahkan 1 Februari 1999. Menjadi PDIP saat ini.
Jokowi, Jusuf Kalla, KH Maruf Amin, dan Tri Sutrisno yang duduk di bangku deratan depan terlihat menyimak dengan seksama. Di belakangnya, ribuan kader dan simpatisan juga hening mendengarkan.
Kisah itu selalu ditanamkan kepada para kader. Bersama pengajaran ideology Pancasila 1 Juni 1945. Tujuannya, agar tak lupa perjalanan partai. Parta bukanlah kekuasaan personal atau golongan. Tapi alat perjuangan untuk mewujudkan cita-cita yang ada di Pancasila.