Oleh: I Nyoman Dwi Rasnikal
Pengamat Sosial
Hari ‘’H’’ pemilu serentak bulan April mendatang, berbagai fenomena politik bermunculan dan menyebar di masyarakat. Ada yang mewajibkan pasangan calon presiden agar dapat membaca kitab suci. Sebelumnya juga ada yang mensyaratkan jika pasangan calon presiden dapat berbahasa Inggris.
Masing-masing tim sukses bereaksi terhadap usulan-usulan seperti ini. Mendengar hal ini ada yang lucu karena seolah mengada-ada dan saling balas. Setelah masalah kitab suci ini mendingin, muncul lagi fenomena politik lain. Ada hoax tentang tujuh kontainer surat suara yang telah dicoblos. Kontainer ini konon ada di Pelabuhan Tanjung Priok.
Masyarakat tertawa dengan fenomena politik ini. Bagaimana fenomena ini menggambarkan suasana politik di Indonesia saat ini?
Baca Juga:SDN Mitra Karya Butuh Bantuan Rehab Ruang KelasH. Carnaka Fokus Program Infrastrukur dan Pertanian
Persoalan demikian sebenarnya sebuah kiat politik tradisional. Sangatlah ironis jika Indonesia yang dengan sadar memilih sistem demokrasi melalui reformasi tahun ke-2 ini. Dilihat dari jangka waktu reformasi tersebut, maka seharusnya saat ini gaya politik tradisional ini harus sudah ditinggalkan.
Mengapa dikatakan tradisional? Saling serang fisik itu merupakan cara paling mudah untuk menjatuhkan lawan. Seolah tidak mempunyai kreativitas untuk meningkatkan capaian prestasi.
Tuntutan untuk membaca kitab suci atau memakai bahasa Inggris, mungkin hasil intipan dari masing-masing pihak terhadap kelemahan lawan itu. Akan tetapi sebenarnya masih ada yang lebih bagus sebagai cara untuk meningkatkan elektabilitas.
Kalaupun harus berupaya ingin menunjukkan keunggulan atas lawan, maka yang mungkin lebih elite adalah dengan mengungkap rasionalitas program dengan data yang memungkinkan. Data inilah yang seharusnya ditunjukkan kepada masyarakat, kemudian dibandingkan dengan apa yang diungkapkan oleh kompetitor.
Menyerang kemampuan yang kiranya berjauhan dari persoalan kebijakan, sepertinya masih lemah. Kalaupun misalnya kompetitor tidak mampu berbahasa Inggris, tetapi sebagai presiden ia tetap akan mampu membuat keputusan politik.
Dapat saja dia memakai bahasa daerah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya juga demikian kalau dia tidak mampu membaca kitab suci. Kiranya cara untuk menyerang lawan politik tersebut hanya bersifat elementer saja.