Beda sekali di Turki.
Di terminal bus Konya, misalnya, ruang toiletnya sangat sangat besar. Lapang. Longgar. Bersih. Saya hitung wastafelnya saja 20 buah. Anda bisa pipis di lima urinoir sekaligus. Tanpa mengganggu orang. Demikian juga untuk yang wanita.
Di kota Afyon terminalnya lebih baru. Cafenya sangat besar. Meja-meja ya ditata seperti di restoran di hotel. Demikian juga tempat penjualan oleh-olehnya. Di Afyon toiletnya tidak gratis. Satu Lira. Sekitar Rp 2.500. Tapi bersihnya seperti hotel bintang empat. Diberi tisu basah pula. Kalau mau, tangan kita bisa diusapi parfum. Saya tidak mau.
Sepanjang perjalanan itu saya tidak tidur. Dari Konya ke Afyon. Empat jam. Atau dari Afyon ke Antalya. Enam jam. Ingin terus memperhatikan lingkungan.
Baca Juga:Belum Temukan Korban Tenggelam , Tim Rescue Disdamkar Lanjutkan PencarianRaih Suara Terbanyak, Asep Jadi Ketua RW 07
Afyon itu kota di pegunungan. Ketinggiannya sekitar 700 meter. Beberapa bagian kota mencapai 1000 meter. Saya keliling ke perumahan-perumahannya. Ingin memperbandingkan perumahan dari satu kota ke lainnya. Saya ingin sistem perumahan di Turki jadi model.
Di Turki jaringan bus antar kota lebih dominan. Dibanding kereta api. Ini karena jalan antar kotanya istimewa. Mirip jalan tol di kita. Mulus sekali. Dua jalur. Tidak padat.
Jalur Konya-Antalya misalnya. Tidak ada layanan kereta. Konya-Izmir yang begitu penting hanya ada satu kereta. Berangkat petang. Tiba pagi.
Jalur kereta yang populer hanya Istanbul-Ankara. Empat jam. Atau Ankara-Konya. Dua jam.
Untuk dua jalur itu saya pilih kereta. Terasa seperti di jalur Madrid-Barcelona dulu. Kereta Turki memang bikinan Spanyol. Kecepatannya 250/jam. Menurut saya kecepatan seperti itu cukup untuk di Jawa. Surabaya-Jakarta 4 jam. Orang sudah sangat suka. Asal bisa segera.
Saya masih ingin ke Turki lagi. Ke pedalamannya yang di timur jauh: Adana. Yang dekat dengan Syiria. Yang dekat dengan Iran.
Turki tidak menutupi fakta: penduduknya 98 persen Islam. Tapi ideologinya sekuler.
Sistem ekonominya neolib. Mal-mal ya besar. Tapi kesenjangan kaya-miskinnya tidak terlihat di mata. Tidak ada kaki lima. Tidak ada perkampungan kumuh yang mencolok mata. Tidak ada becak. Atau ojek.