Oleh : Ridho Budiman Utama,
Anggota Komisi II DPRD Jawa Barat
Kekhawatiran akan jatuhnya harga garam di tingkat petani diutarakan oleh Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) saat menyikapi keputusan pemerintah yang akan mengalokasikan import garam sebanyak 2,7 juta ton pada tahun 2019 ini. Ketua Umum APGRI Jakfar Sodikin mengungkapkan, kebutuhan konsumsi garam nasional sebenarnya hanya 4,3 juta ton. Sementara jumlah produksi garam di tingkat petani kita mampu menembus angka 2,7 juta ton sehingga jumlah import garam yang diperlukan hanyalah sebesar 1,6 juta ton. Selain itu sisa stok garam tahun lalu masih ada sekitar 1,5 juta ton.
Dengan demikian, keputusan pemerintah untuk melakukan import garam dalam jumlah yang sangat besar sama sekali tidak berdasar dan dipastikan akan mengancam keberlangsungan usaha para petani garam. Selain ancaman anjloknya harga garam di tingkat petani, kemungkinan tidak terserapnya produksi garam pun kian membayangi mereka yang tengah berjuang keras untuk mewujudkan swasembada pangan di negeri ini.
Polemik terkait import garam sebagaimana dijelaskan oleh penulis di atas pada akhirnya memberikan kesan bahwa pemerintah memang tidak memiliki itikad baik untuk merealisasikan janjinya dalam mewujudkan swasembada pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan para petani.
Baca Juga:H. Ruhimat: Kita Bukan Penguasa tapi Pelayan RakyatSambut Pelabuhan, Pemdes Patimban Siapkan Program
Alih – alih membantu para petani untuk meningkatkan kualitas hasil produksinya sehingga mampu memenuhi spesifikasi garam sesuai dengan kebutuhan pasar, pemerintah justru terkesan tidak hati – hati dalam membuka keran import dalam jumlah yang sangat besar. Akibatnya, kerugian yang tidak sedikit kerap kali dialami oleh para petani kita akibat anjloknya harga garam maupun karena hasil produksi mereka banyak yang tidak terserap di pasaran.
Import garam bukanlah satu – satunya kebijakan pemerintah di bidang perdagangan yang bertentangan dengan kepentingan para petani. Komoditas lain seperti beras, jagung dan gula juga mengalami hal serupa. Kondisi memilukan seperti ini antara lain disebabkan oleh tidak adanya sinergi yang baik antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan terkait keakuratan data produksi pangan di dalam negeri.
Data yang tidak akurat tersebut kemudian dijadikan dasar oleh Kementerian Perdagangan untuk mengeluarkan kebijakan import. Polemik terkait import beras yang berujung pada pencopotan Budi Waseso sebagai Kepala Bulog beberapa waktu lalu menunjukkan betapa carut marutnya manajemen pengelolaan data terkait pangan di negeri ini.