Oleh: Elsa Sari Hayunah Nurdiniyah
Anggota Komunitas YUK NULIS
Beberapa bulan terakhir Indonesia dilanda banyak musibah. Berdasarkan data dari BMKG tercatat lebih dari seribu bencana yang terjadi selama tahun 2018. Sebagai negara yang terletak diatas pertemuan lempeng-lempeng tektonik dunia dan diapit oleh dua lautan luas maka sudah menjadi hal yang wajar jika Indonesia sering ditimpa bencana. Bencana yang sering terjadi diantaranya banjir, tanah longsor, gelombang pasang, puting beliung, kebakaran hutan dan lahan hingga gempa bumi.
Kerugian yang ditimbulkan akibat bencana juga tidak sedikit. Tercatat bahwa ada lebih dari 4000 ribu orang meninggal dan ribuan orang terpaksa harus mengungsi (Data Informasi Bencana Indonesia, 2018). Pihak BNPB menyatakan bahwa korban jiwa akibat bencana selama tahun 2018 merupakan yang terbesar sejak tahun 2007 dan tren bencana juga cenderung meningkat dari selama sepuluh tahun terakhir. Meskipun jumlah bencana alam tahun 2018 lebih sedikit dibandingkan tahun 2017, akan tetapi dampak buruknya sangat besar. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam konferensi pers, Senin (31/12/2018), menyatakan bahwa kerugian materil akibat bencana diperkirakan mencapai Rp 100 triliun di tahun 2018.
Sayangnya bencana yang sering terjadi terutama bencana alam tidak diimbangi dengan sistem pencegahan dan penanggulangan yang memadai. Padahal berdasarkan data-data yang telah dipaparkan sebelumnya terlihat jelas bahwa Indonesia termasuk negara rawan bencana. Hal ini dapat dilihat pada bencana tsunami di Selat Sunda yang baru saja terjadi (31/12/2018).
Baca Juga:Petani Patimban Bentuk Koperasi, Bergerak di Bidang Jasa dan Pelatihan Tenaga Kerja25% Area Pertanian di Ciasem Belum Tanam Padi
Tsunami di Selat Sunda terjadi karena guguran material erupsi Gunung Anak Krakatau yang jatuh ke laut. Karena bukan disebabkan oleh aktivitas tektonik akibatnya BMKG tidak dapat memberikan peringatan dini kemungkinan terjadinya tsunami. Selain itu berdasarkan pernyataan dari pihak BMKG 22 alat deteksi tsunami (Deep-Ocean Tsunami Detection Buoy) yang terpasang di seluruh wilayah Indonesia telah mengalami kerusakan sejak tahun 2012. Kerusakan ini disebabkan karena tidak adanya biaya pemeliharaan dan operasional dari pemerintah. Untuk itu saat ini BMKG hanya mengandalkan lima Buoy tsunami milik internasional yang ada di sekitar wilayah Indonesia. Kondisi ini terbilang cukup parah mengingat Indonesia termasuk salah satu negara rawan gempa dan tsunami.