Namun faktanya, membuat tulisan ilmiah dianggap sesuatu momok yang menakutkan bagi para guru. Alasan yang sering muncul adalah karena terlalu banyak tugas maupun urusan yang dikerjakan seorang guru. Hal inilah yang membuat sulitnya seorang guru naik pangkat dan selalu mentok di pangkat IV/A.
Sedikitnya ada 344 ribu dari 2,7 juta guru di Indonesia berada pada golongan IV/A, namun dari jumlah tersebut baru sekitar 2.200 guru yang bisa naik golongan IV/B ke atas. Selebihnya berada di golongan IV/A akibat belum memproduksi karya tulis ilmiah. Bagaimanapun, untuk bisa menembus golongan IV/B, guru harus mampu mengumpulkan angka kredit dari unsur pengembangan profesi yang diperoleh dari penulisan karya tulis ilmiah berupa penelitian, karangan ilmiah, tulisan ilmiah populer, buku, diktat.
Menulis terkesan sulit dilakukan kaum guru sebenarnya bukan karena tidak bisa melainkan karena tidak mau bekerja keras, tidak mau membiasakan dan melatih diri, dan hanya berharap ada cara instan untuk melakukannya. Bahkan parahnya, jika ada jasa penjual karya tulis ilmiah, bakal ada guru-guru yang ingin menggunakannya.
Baca Juga:Pemdes Tanjungsari Barat Seleksi Calon Perangkat DesaBUMDes Harus Dikelola Orang Profesional
Bagaimanapun, gerakan menulis di kalangan guru harus terus digaungkan. Guru justru harus jadi garda terdepan mengampanyekan dan menerapkan gerakan literasi yakni sebuah gerakan dalam upaya menumbuhkan budaya membaca dan menulis sehingga tercipta pembelajaran sepanjang hayat. Program satu tulisan satu hari bagi semua guru perlu diterapkan agar mereka semakin produktif.
Lantas, bagaimana memulai gerakan tersebut? Sering sekali guru mengeluh dan berkata “Saya tidak bisa menulis” atau “ menulis itu sulit sekali”. Dalam berbagai pengamatan, sesungguhnya jawaban tersebut hanyalah alasan atas kemalasan para guru. Bagaimana mungkin kita tidak bisa menulis padahal kita sudah belajar banyak teori bahkan mengajarkannya pada peserta didik? Kaum guru mesti keluar dari zona nyamannya dan mampu membuat gebrakan menulis. Sebagai guru, kita harus merubah pola pikir bahwa kita punya tugas bukan hanya sekedar mengajar dan mendidik saja, tetapi kita juga punya tanggung jawab meninggalkan karya tulis yang bisa terus digunakan oleh generasi masa depan.