Provinsi Jabar terancam kehilangan sumber pasokan pangan akibat maraknya alih fungsi lahan di berbagai daerah. Dalam kurun waktu antara 5-10 tahun ke depan, julukan Jabar sebagai ‘Lumbung Pangan’ nasional pun terancam lepas.
Sekretaris Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jabar, Boy Supangat menuturkan, hampir setiap hari, antara 10-20 hektare lahan pertanian di wilayah Jabar tergerus akibat dampak alih fungsi lahan. Jika pemerintah tak segera membuat regulasi, dirinya meyakini Jabar tidak lagi diperhitungkan sebagai salah satu daerah lumbung pangan di Indonesia.
“Sektor pertanian yang diidam-idamkan, kita harapkan, ternyata hari demi hari banyak terjadi alih fungsi lahan yang sangat luar biasa. Antara 5-10 tahun ke depan, apa yang akan terjadi di Jabar sebagai daerah lumbung pangan nasional,” kata Boy ditemui di Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang, Kabupaten Bandung Barat, kemarin.
Baca Juga:TP PKK Siap Wujudkan 8 Tugas Pokok, Berdayakan Ekonomi KeluargaAdi Priatna Siap Rampungkan Infrastruktur, Segera Bentuk BUMDes
Dia mencontohkan, Kabupaten Majalengka sebagai salah satu daerah dengan laju alih fungsi lahan yang cukup tinggi akibat dampak pembangunan bandara Kertajati, jalan tol, pabrik dan lain-lainnya. Boy menyatakan, pertumbuhan pembangunan di daerah itu telah menggerus area lahan produktif.
“Kalau alih fungsi lahan dibiarkan, tidak ada Pergub atau Perda dari kabupaten/kota, saya yakin ketersediaan pangan di Jabar akan terancam,” ujarnya.
Selain alih fungsi lahan, Boy melanjutkan, KTNA juga menyoroti nilai tukar petani (NTP) yang masih rendah. Selama ini, sesuai Inpres nomor 5 tahun 2015 tentang kebijakan pengadaan gabah/beras dan penyaluran beras oleh pemerintah, bahwa harga pembelian pemerintah (HPP) masih menjadi harga acuan baik di pasar maupun di petani.
Dalam Inpres itu disebutkan bahwa harga gabah kering pungut (GKP) di tingkat petani sebesar Rp3.750/kg. Dia pun mengaku, harga gabah kering giling (GKG) hanya dijual seharga Rp4.600/kg.
“Saya petani padi, HPP tidak sesuai dengan apa yang kita hasilkan karena harganya masih di bawah, minimal harga 1 kg GKG sebesar Rp6.000/kg. Harga itu tidak untung, juga tidak rugi untuk petani,” beber Boy yang mengaku hanya tinggal memiliki 3 hektare lahan sawah di Majalengka.