Oleh: Inra Jaya Sihaloho
- Alumni Universitas Negeri Medan
- Pemerhati isu bidang politik
- Anggota Komunitas YUK NULIS
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk pemilihan anggota DPR RI dan DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Namun, seiring adanya bebrapa kali amandemen UUD 1945, tepatnya pada amandemen ke-4 tahun 2002, pemilihan presiden dan wakilnya yang awalnya ditentukan oleh MPR berubah menjadi dipilih secara langsung rakyat. Karenanya, pilpres 2004 yang dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta Jusuf Kalla sebagai wakil presiden menjadi pilpres kali pertama diselenggarakan di tanah air.
Tahun 2019 pesta demokrasi (PEMILU) kembali di gelar dimana kita akan memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Sebanyak 20 partai politik yang terdiri dari 16 partai nasional dan 4 partai lokal provinsi Aceh akan bertarung memperebutkan kursi di pusat maupun daerah. Sementara itu, dua pasangan calon (paslon) Presiden dan Wakil Presiden yakni Joko Widodo – Ma’aruf Amin dan Prabowo Subianto – Sandiago Uno akan memperebutkan kursi 1 dan 2 RI. Sebagai strategi pemenangan, dua koalisi pun terbentuk yakni Koalisi Indonesia Kerja (KIK) yang terdiri dari 10 partai politik mendukung kemenangan paslon nonmor urut 1 Jokowi-Maaruf. Sementara paslon nomor urut 2 Prabowo – Sandi didukung oleh 4 partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Adil (KIA). Sedangkan Partai Berkarya belum menentukan kiblat politiknya tapi lebih mengarah ke Koalisi Indonesia adil.
Sejak 23 september 2018 lalu, kampanye sudah dilakukan terkecuali kampanye melalui media cetak dan media elektronik. Berbagai cara sudah dilakukan oleh para caleg yang ikut serta dalam pesta demokrasi untuk menarik perhatian masyarakat di daerah pemilihannya (dapil) dengan memasang baliho, papan iklan, spanduk, di tiang listrik, pohon, hingga di warung-warung warga. Bahkan tidak jarang para caleg dan capres turun langsung (blusukan) ke pasar tradisional, organisasi/komunitas masyarakat, warung kopi, warung makan dan lain sebagainya.
Baca Juga:Pemimpin Harus Lakukan PerubahanLanggar Aturan, Ratusan APK Ditertibkan
Mirisnya, dalam momentum kampanye, tatkala para caleg maupun simpatisan melakukan kampanye negatif dengan menyerang kubu lawan dengan isu suku, agama, ras, antargolongan (SARA) bahkan sampai muncul istilah ‘cocokisme’ yang artinya mencocok-cocokan antara calon yang didukung dengan agama, suku, ras dan lain sebagainya. Tak hanya itu, ada juga kampanye yang dilakukan dengan membagi bagikan uang (money politic) dan masih banyak lagi cara kampanye yang membodohi masyarakat.