Namun, pemerintah mengeluarkan keputusan untuk memberikan remisi kepada Susrama dengan mengacu pada Pasal 9 Keppres Nomor 174 Tahun 1999 yang mensyaratkan penerima remisi adalah narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup, telah menjalani masa pidana paling sedikit 5 tahun berturut-turut, serta telah berkelakuan baik. “Remisi yang diberikan kepada seorang koruptor sekaligus otak dari pembunuhan berencana yang keji adalah suatu kesalahan,” kata Manan.
Manan juga mempertanyakan indikator dari frasa berkelakuan baik pada aturan syarat pemberian remisi yang tertuang dalam Pasal 9 Keppres No. 174/1999. “Kemenkumham sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan keputusan remisi harus mejabarkan indikator dari berkelakuan baik itu. Apa betul dia (Susrama) memang berkelakuan baik?” kata Manan.
Manan meminta pemerintah supaya lebih transparan dalam prosedur pemberian remisi kepada Susrama. “Pemberian remisi ini tidak transparan sehingga pantas mempertanyakan perbuatan baik seperti apa yang dilakukan sampai dia pantas untuk memperoleh remisi, padahal kejahatan yang dia lakukan sangat serius,” tambah Manan.
Baca Juga:Kodim Gelar Simulasi Pengamanan Pemilu 2019Abdul Latief: Dukung Penuh Ketua Kadin Jabar Terpilih
Selain AJI, sejumlah kelompok masyarakat sipil juga menolak pemberian remisi kepada Susrama karena menilai pemberian remisi yang merupakan perubahan dari hukuman penjara seumur hidup menjadi pidana sementara penjara 20 tahun itu telah mencederai hukum Indonesia dan kebebasan pers.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menyebutkan remisi yang diberikan kepada terpidana seumur hidup, I Nyoman Susrama, oleh Presiden Joko Widodo memiliki model yang sama dengan grasi.
“Presiden memberikan remisi berdasarkan Pasal 9 Keppres Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi yang di dalamnya mengandung muatan grasi, di situlah pangkal permasalahannya,” imbuhnya.
Bayu menjelaskan bahwa di dalam ketentuan tersebut, tertulis perubahan hukuman seumur hidup menjadi pidana sementara.Presiden, lamjut dia memang memiliki kewenangan untuk memberikan grasi. Namun, pemberian itu tidak boleh diputuskan tanpa pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
“Sementara kalau Keppres Nomor 174/1999 untuk mengubah hukuman penjara seumur hidup menjadi penjara sementara, itu tidak perlu pertimbangan MA, padahal itu sama-sama model grasi,” kata Bayu.
Hal ini, lanjut Bayu, berakibat buruk bagi keadilan hukum karena adanya standar ganda antara pemberian grasi dan remisi yang tertuang berdasarkan Keppres Nomor 174/1999. Akibatnya, terpidana seumur hidup akan memilih jalur remisi berdasarkan Keppres Nomor 174/1999 yang sebetulnya merupakan mode grasi ini, imbuh Bayu. “Asalkan dia sudah menjalani hukuman limatahun, berkelakuan baik, maka hukumannya bisa diubah menjadi penjara sementara,” tambah Bayu.