Oleh: Dahlan Iskan
Saya melongok ke luar jendela. Dari kamar saya di lantai 9. Di Swissbel Inn Singkawang yang masih baru. Terlihat kelenteng besar di seberang jalan.
Terlihat juga gunung Puting di belakangnya. Gunung itu diberi nama Puting karena bentuknya yang seperti ujung payudara wanita. Kata orang sana.
Pukul 6 pagi saya turun ke lobi. Untuk memulai perjalanan keliling kota Singkawang. Mengamati detail-detailnya.
Saya ingin tahu: ada perubahan apa. Setelah lebih setahun Tjhai Chui Mie menjadi walikota. Yang begitu luas menjadi pembicaraan di mana-mana.
Baca Juga:Belajar Tata Negara Sejak Dini, SD IT Cendikia Kunjungi DPRDKesiapan UNBK Baru 81 %, Masih Ada Sekolah yang Numpang
Tidak hanya Tionghoa tapi juga wanita.
Waktu sepagi itu suara genderang sudah mulai terdengar.
Dung-dung-ceng… Dung-dung-ceng…
Di kelenteng pusat kota. Kelenteng tertua yang di simpang tiga.
Begitulah suasana sehari sebelum puncak Cap Go Meh. Yang jatuh pada hari Selasa kemarin.
Singkawang kembali menjadi pusat perhatian. Begitu besar nama Singkawang.
Semua itu dimulai Minggu malam: karnaval lampion. Dilanjutkan Senin sore: upacara buka mata naga.
Pun sejak Sabtu lalu kesibukan sudah terlihat di semua klentengnya. Di halamannya.
Mereka membuat kendaraan hias. Atau tandu berbunga. Mereka bergotong-royong membuatnya. Tidak ada yang dikerjakan kontraktor.
Singkawang memang mendapat gelar ‘kota seribu klenteng’. Seperti Lombok bergelar ‘seribu masjid’. Dan Manado ‘seribu gereja’.
Pada puncak perayaan Cap Go Meh itu semua klenteng mengeluarkan dewa andalan mereka. Berupa patung. Yang selama itu ditempatkan di altar puja. Di sembahyangi. Dipuja.
Dewa-dewa itu dinaikkan kendaraan hias. Atau tandu bersolek.
Dewa itu dipikul beramai-ramai. Dengan gaya pikulan masing-masing. Ada yang sambil menari. Sambil jingkrak. Sambil muter-muter. Dengan iringan dung-dung-ceng.
Baca Juga:Cafe WHO, Tawarkan Konsep Indoor dan Outdoor52 Orang THL Blokir Rumdin Cellica
Di belakang setiap dewa. Diiringi pula liong. Dan barongsai.
Dewa dari satu kelenteng bisa diarak oleh tim yang beranggotakan 20 orang. Bayangkan riuhnya. Dan panjangnya.
Apalagi ada satu klenteng yang mengeluarkan dua dewa. Atau tiga. Dengan tim yang lebih besar. Dengan iringan yang lebih panjang. Dengan tetabuhan yang lebih meriah. Dengan kostum pakaian yang lebih beragam.
Betapa gemuruhnya kalau seribu klenteng turun ke jalan bersama. Tumplek blek. Ke pusat kota Singkawang. Lalu keliling kota. Bermuara di stadion. Dengan atraksi tambahan yang sangat khusus: tatung. Yang tusuk-tusuk wajah itu. Yang ngeri-ngeri-ngilu itu. Yang hanya ada di Singkawang. Di panggung khusus yang dijaga ‘dua singa’ raksasa.