Oleh: Ilham Akbar
Mahasiswa Universitas Serang Raya, Fakultas Ilmu Sosial, Ilmu Politik dan Ilmu Hukum (FISIPKUM)
Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, di mana apa yang sesungguhnya gender, karena pada dasarnya konstruksi sosial, justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Justru sebagian besar yang dewasa ini sering dianggap atau dinamakan sebagai “kodrat wanita” adalah konstruksi sosial dan kutural atau gender. Misalnya saja sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola, dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik dianggap sebagai “kodrat wanita”. Padahal kenyataannya, bahwa kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, merawat dan mengelola kebersihan adalah konstruksi kultural dari suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan merawat kebersihan rumah tangga bisa dilakukan oleh kaum laki-laki (Fakih, 2013: 11).
Salah kaprah definisi gender justru semakin berkembang secara kompleks. Bahkan sampai saat ini, common sense masyarakat kita selalu menganggap bahwa laki-laki harus menjadi pemimpin, dan perempuan harus menjadi pengikut. Pandangan tersebut dari dulu sampai saat ini seolah tak pernah luntur, bahkan common sense tersebut telah merasuk ke dalam dunia pendidikan, pers, agama, dan sebagainya. Sehingga kesalahkaprahan tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap ketidakadilan terhadap perempuan. Kini perempuan seolah dianggap sebagai pihak yang pasif, dan harus tunduk terhadap perintah laki-laki. Perempuan seolah tidak bisa melawan apa yang diperintahkan oleh laki-laki, jika laki-laki mengatakan A, maka perempuan harus melakukan A, jika laki-laki mengatakan B, maka perempun harus melakukan B.
Baca Juga:Cap Go Meh Gelar Parade Budaya, Jalin Persatuan dan KesatuanBaru Ada Suspect DBD di Puskesmas Pusakanagara
Ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan masih menjadi permasalahan utama di negeri ini, bahkan sampai saat ini justru ketidaksetaraan tersebut seolah-olah harus dipelihara oleh pemerintahan yang menganut sistem politik demokrasi. Padahal dengan adanya sistem politik demokrasi merupakan langkah awal untuk menciptakan kesetaraan gender, tetapi nahasnya di negeri ini isu-isu mengenai kekerasan perempuan pun selalu tidak diperhatikan. Oleh sebab itu, permasalahan tersebut tidak bisa dianggap sebagai permasalahan yang sepele, karena jika permasalahan mengenai ketidakadilan terhadap perempuan dibiarkan begitu saja, maka Indonesia akan menjadi negara yang terus menerus dihantui oleh kekerasan terhadap perempuan.