Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan, pada tahun 2014 terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, 2015 sebanyak 6.499 kasus, 2016 sebanyak 5.785 kasus dan pada 2017 tercatat ada 2.979 kasus kekerasan seksual di ranah KDRT atau relasi personal serta sebanyak 2.670 kasus di ranah publik atau komunitas. Data tersebut merupakan contoh bahwa di negeri ini perempuan selalu menjadi objek untuk melampiaskan kemarahan para kaum laki-laki. Sehingga kesetaraan gender pada saat ini merupakan salah satu hal yang seolah-olah mustahil dan tidak mungkin, padahal sebenarnya untuk mencapai suatu kedamaian di dalam negeri ini, maka salah satu kuncinya adalah menciptakan kesetaraan gender.
Memang tanpa dipungkiri upaya untuk membenahi permasalahan tersebut selalu ada dalam beberapa tahun belakangan ini, misalnya mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang pada saat ini sedang di bahas oleh DPR, hal ini juga merupakan salah satu langkah untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan, dan juga untuk menciptakan kesetaraan gender yang selama ini belum pernah terlaksana dengan baik. Namun demikian, disatu sisi lainnya, kini publik patut mempertanyakan mengenai janji-janji manis dari para caleg perempuan yang seolah-olah dirinya akan memperjuangkan kesetaraan gender. Setiap kali caleg perempuan mencalonkan dirinya, pasti dalam situasi tertentu selalu menyinggung tentang gender. Akan tetapi ketika ia sudah duduk di kursi legislatif, namun pada akhirnya tetap saja kekerasan terhadap perempuan justru semakin rumit dan semakin sulit untuk diselesaikan.
Alih-alih menciptakan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, namun para legislator perempuan tersebut kini selalu dikalahkan oleh dominasi sistem patriarki yang berada di partainya. Namun demikian, kita tidak bisa menyalahkan para legislator perempuan saja, karena permasalahan gender bukan hanya masalah yang harus dibebani pada legislator perempuan, akan tetapi permasalahan gender adalah permasalahan kita semua. Oleh karena itu, jika ingin menciptakan kebijakan yang menjunjung tinggi kesetaraan gender, maka yang harus kita lakukan adalah meningkatkan keterlibatan masyarakat agar mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap isu-isu gender.
Menghilangkan Constrain Recognition
Baca Juga:Cap Go Meh Gelar Parade Budaya, Jalin Persatuan dan KesatuanBaru Ada Suspect DBD di Puskesmas Pusakanagara
Jika seseorang merasa bahwa dia tidak bebas berkespresi dalam situasi tersebut, maka apa pun informasi yang dia terima dan miliki menjadi tidak relevan, dan dia cenderung tidak akan mengeluarkan opini (diam). Individu-individu akan merasa adanya pembatasan (constrain recognition), jika ia tidak dapat berbuat apa pun terkait dengan isu yang dihadapinya (Kriyantono, 2012: 236-237). Setiap perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung tidak mempunyai keinginan untuk menceritakannya, dan tidak mau menginformasikannya kepada orang lain. Tidak jarang dalam beberapa tahun belakangan ini, ketika seorang perempuan melaporkan mengenai kekerasan seksual yang dialaminya, namun justru perempuan lah yang pada akhirnya dilaporkan kembali oleh orang yang melakukan kekerasan seksual tersebut.