Berdasarkan data tersebut, import beras sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2018 ternyata meningkat sebanyak 160 persen atau lebih dari 2,5 kali lipatnya. Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam acara diskusi yang diselenggarakan di Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta beberapa waktu lalu.
Pada kuartal IV di tahun 2014 dimana Joko Widodo menjabat sebagai Presiden, Indonesia mengimport beras sebanyak 503 ribu ton atau setara dengan US$ 239 juta. Di tahun 2015, import beras naik sebesar 71 persen menjadi 861 ribu ton atau setara dengan US$ 351 juta. Pada tahun 2016, import beras kembali meningkat sebesar 49 persen menjadi 1,2 juta ton atau setara dengan US$ 531 juta. Jumlah import memang sempat turun secara signifikan hingga 75 persen pada tahun 2017 yaitu sebesar 311 ribu ton atau setara dengan US$ 143 juta.
Akan tetapi pada tahun berikutnya yaitu tahun 2018, import beras meningkat secara drastis drastis hampir mencapi 624 persen menjadi 2,2 juta ton atau setara dengan US$ 1 miliar.
Permasalahan terkait import beras tak berhenti di situ, kebijakan import beras di era pemerintahan Jokowi – JK juga diwarnai oleh perseteruan diantara para pembantunya. Pada awal tahun 2018, terjadi kenaikan harga untuk jenis beras medium di sejumlah wilayah. Saat itulah Menteri Perdagangan menyatakan bahwa pemerintah akan melakukan import sebesar 500 ribu ton untuk mengatasi kemungkinan kekurangan pasokan.
Baca Juga:Pentingnya Mempelajari FilsafatLancarkan Aliran Air Pertanian, Dua Pemdes Kerja Bareng Normalisasi Kali Ciragem
Namun, selang sehari kemudian, Kementerian Pertanian mempertanyakan kebijakan yang diambil oleh Kementerian Perdagangan tersebut. Kementerian Pertanian menyatakan, saat itu produksi beras masih mampu mencukupi kebutuhan nasional. Oleh karenanya kebijakan import beras yang dilakukan oleh Kemendag sama sekali tidak berdasar.
Pada bulan September 2018, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso juga bereaksi atas keputusan serta pernyataan yang dilontarkan oleh Menteri Perdagangan. Melimpahnya stok beras di gudang Bulog hingga harus menyewa tempat lain untuk menyimpan cadangan beras miliknya justru disikapi oleh Mendag dengan mengatakan bahwa itu bukan urusannya. Padahal, urusan pangan semestinya menjadi tugas bersama antar instansi pemerintah.
Buruknya manajemen data pangan yang dimiliki oleh pemerintah pada akhirnya akan berdampak tidak baik bagi kehidupan para petani lokal. Kebijakan import pangan yang tidak didasarkan pada kebutuhan di lapangan hanya akan membuat para petani kita lebih sengsara. Di saat mereka hendak menikmati hasil jerih payahnya, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang mengancam keberlangsungan usahanya. Tak heran apabila, minat generasi muda saat ini untuk berprofesi menjadi seorang petani kian menurun. Profesi petani dianggap sebagai pekerjaan yang kurang menjanjikan dan memiliki resiko tinggi.