Oleh : Abdul Hadi Wijaya
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
Entah apa yang ada di dalam pikiran Gubernur Jawa Barat hingga perlu mengabadikan nama tokoh fiksi yang juga kontroversial menjadi salah satu tempat di dalam sebuah taman besar di kota Bandung. Adalah Pojok Dilan atau yang juga dikenal sebagai Dilan’s Corner, sebuah tempat yang kini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat maupun media sosial. Pemilihan sosok Dilan dengan dalih untuk memacu semangat diskusi dan menguatkan budaya literasi di kalangan generasi muda dinilai oleh sebagian besar warga Jawa Barat sangat tidak beralasan karena hanya didasarkan pada keberhasilan dari cerita sebuah novel remaja yang kemudian diangkat ke layar lebar.
Reaksi pun bermunculan menyikapi keputusan sang gubernur tersebut, salah satunya datang dari kalangan pendidik. Dimunculkannya sosok Dilan sebagai ikon generasi muda dinilai bertentangan dengan upaya pendidikan karakter yang selama ini tengah diperjuangkan oleh para guru maupun orangtua. Hal ini dikarenakan karakter yang melekat pada sosok fiktif itu sama sekali tidak dapat dijadikan panutan oleh generasi muda saat ini. Menjadi ketua geng motor di usia remaja serta mampu menaklukkan hati seorang gadis bukanlah kompetensi yang ingin dibangun dalam rangka menghadapi persaingan global. Sebaliknya, degradasi moral di kalangan remaja dikhawatirkan akan semakin menjadi manakala sosok fiktif karangan Pidie Baiq itu dijadikan “kiblat” oleh para remaja dalam menjalani kehidupannya.
Di sisi lain, klaim Gubernur Jabar yang menyatakan bahwa kehadiran Dilans’Corner akan mampu memacu semangat diskusi dan literasi di kalangan remaja juga kurang bisa diterima akal sehat. Budaya literasi tidak akan berkembang hanya karena sebuah novel (kontroversial) yang kemudian berhasil menembus layar lebar dijadikan “barang dagangan” untuk menarik minat generasi muda terhadap dunia membaca. Budaya membaca, menulis dan berdiskusi sejatinya hanya dapat dibangkitkan melalui berbagai upaya mendekatkan anak ataupun remaja dengan dunia buku, lebih tepatnya buku – buku yang memberikan manfaat, bukan sebaliknya. Diabadikannya nama – nama tokoh Sunda yang sudah terbukti memberikan kontribusi bagi perkembangan budaya di Jawa Barat jauh lebih masuk akal dibandingkan dengan mengabadikan nama tokoh fiksi, terlebih mengundang pro kontra.