Selain maraknya berita hoaks, darurat literasi media yang sedang dialami oleh Indonesia juga dikarenakan tingkah laku dari beberapa pihak yang membudayakan kebiasaan saling lapor, dan nahasnya lagi kebiasaan tersebut tidak dilengkapi dengan kemampuan literasi media yang baik. Buktinya saja pada saat ini, peristiwa yang sedang hangat di berbagai media adalah mengenai kasus yang menjerat akademisi Robertus Robet yang telah dijadikan tersangka oleh Polri karena dianggap telah melakukan ujaran kebencian terhadap TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Peristiwa tersebut pada akhirnya menuai pro kontra, bahkan beberapa pihak justru mendesak Polri agar mencabut status tersangka Robertus Robet, karena sebenarnya ia tidak melakukan ujaran kebencian terhadap TNI, melainkan hanya menyampaikan kritik saja terhadap ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di masa lampau. Jika sudah begini, lalu siapa yang harus disalahkan? Apakah Robertus Robet atau Polri? Lalu, siapakah yang membuat Indonesia menjadi darurat literasi media?
Menurut penulis, seharusnya Polri juga bisa membedakan mana perkataan yang bisa dianggap sebagai kritik, dan mana perkataan yang bisa dijadikan sebagai ujaran kebencian. Dalam hal ini, alangkah lebih baik lagi jika Polri tidak memberikan status tersangka terhadap Robertus Robet, karena orasi yang dilakukan oleh Robertus Robet, tidak terdapat kata-kata yang menyudutukan pihak-pihak tertentu. Jika ia hanya melakukan kritik terhadap kekuasaan yang berada di masa lampau, tentu hal tersebut adalah hal yang wajar, karena memang di dalam demokrasi kritik tidak pernah diharamkan. Pada saat ini memang tanpa dipungkiri, kemampuan literasi media yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat, selalu mengalami tumpang tindih dengan UU ITE yang selama ini dianggap sebagai undang-undang yang dipenuhi dengan pasal karet, sehingga pada akhirnya literasi media menjadi suatu hal yang tidak penting lagi.
Memahami yang Belum Dipahami
Baca Juga:Izin di Karawang Capai Rp 14,835 Triliun, Raih Ranking 2 Jawa BaratPerkara Tiga Emak-emak Ditangani Khusus
The moral domain (ranah moral) mengacu kepada kemampuan untuk memahami nilai-nilai dalam pesan-pesan tersebut. Dalam situasi komedi, nilai-nilai peran dalam pesan humor adalah alat penting dalam melihat berbagai permasalahan; jenaka adalah kekuatan; masalah disajikan dengan ketidakseriusan, semua itu seolah-olah dapat dipecahkan dalam setengah jam. Dalam tampilan drama, nilai-nilai peran dalam pesan adalah kehebatan yang biasanya mencapai keberhasilan yang bertujuan untuk memperoleh apa yang diinginkan dan bahwa dunia ini memiliki tempat-tempat yang membahayakan kita (Potter, 1998: 8, dalam Ardianto, Komala, dan Karlinah, 2007: 217).