Oleh Dr. Elkana Timotius, MM, MT
Dosen Teknik Industri di 2 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Jakarta
Beberapa waktu lalu, secara mengejutkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan bahwa ada 49 orang calon legislatif tingkat DPRD dan DPD yang merupakan mantan narapidana dengan kasus korupsi. Para mantan koruptor tersebut telah mendaftar diri untuk berlaga memperebutkan kursi parlemen pada Pemilihan Umum tanggal 17 April mendatang. Walaupun masih banyak pro dan kontra mengenai boleh tidaknya seorang mantan koruptor untuk maju sebagai wakil rakyat, namun masih banyak partai-partai politik yang tidak ragu untuk mendaftarkan kadernya yang merupakan mantan koruptor untuk ikut dalam pesta demokrasi.
Padahal, faktanya sudah banyak yang terjerat kasus korupsi saat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Sebagian di antaranya bahkan tidak ragu dan malu untuk tidak menutupi jati dirinya sebagai mantan koruptor. Fenomena yang sulit dipahami ini telah terjadi pada Pilkada tanggal 27 Juni 2018 lalu, ada sembilan koruptor yang mengikuti kontestasi politik. Anehnya, calon Bupati Tulungagung dan calon Gubernur Maluku Utara tetap bisa meraih suara terbanyak meski sudah menjadi tersangka korupsi. Mengapa demikian?
Semua tindakan yang dilakukan seseorang sejatinya dikendalikan oleh pola pikir yang dimilikinya. Seorang koruptor tidak akan lagi memiliki rasa malu karena mereka beranggapan bahwa tindakan korupsi yang dilakukannya bukanlah sebuah kesalahan. Seringkali seseorang yang tertangkap mengungkapkan bahwa korupsi yang dilakukannya hanya sebagai suatu ujian, musibah, atau dijebak oleh orang lain. Para tersangka korupsi selalu menampik keterlibatannya walaupun mereka tertangkap tangan. Hal inilah yang bisa dikatakan sebagai Pola Pikir Koruptor.
Baca Juga:Harga Bawang Merah Bagus, Petani UntungAjak Santri Hidup Sehat dan Melek Hukum
Pola pikir tumbuh dan berkembang seiring dengan kondisi, lingkungan, dan keberadaan seseorang. Dalam hal korupsi, pola pikir koruptor terbentuk karena lingkungannya yang menganggap lumrah dan sudah menjadi kebiasaaan orang-orang di lingkungan tersebut untuk melakukan tindakan korupsi.
Pola pikir koruptor tumbuh secara alami bila ada kesempatan. Bagi orang yang belum sama sekali melakukan korupsi, pola pikir koruptor berpotensi muncul bila ada sebuah kesempatan untuk melakukan korupsi. Sebaliknya, bagi orang yang sudah terbiasa korupsi, pola pikir koruptor akan sulit diterapkan bila tidak ada kesempatan untuk melakukan korupsi.