Ada jembatan besar melintas di atasnya. Banyak kerbau berkeliaran di pinggir sungai. Banyak juga onta parkir bersama anak-anak mereka.
Lebih banyak lagi anak-anak manusia. Yang berlarian. Dengan pakaian kotor. Kelihatannya mereka sudah satu minggu tidak mandi. Padahal ada pompa air tangan di situ. Saya mencobanya. Airnya keluar. Besar. Jernih. Tapi mereka hanya menggunakannya untuk membersihkan lumpur di kaki.
“Kok mereka tidak sekolah?” tanya saya. Kebetulan ada wartawan Lahore yang lagi di situ.
Baca Juga:Akselerasi Pembangunan Zona Integritas WBK WBBMKomisi II DPR RI Pantau Kesiapan Pemilu
“Mereka miskin. Tidak punya biaya,” jawab si wartawan.
Saya ditawari menyeberang sungai. Dengan perahu kecil. Lebarnya sama dengan sungai Musi di Palembang. Di dekat jembatan Ampera.
“Kaisar Mongol pernah menyeberang di sini,” ujar wartawan itu.
Kabar baiknya: tidak ada rumah-rumah liar yang menjarah pinggiran sungai ini. Hanya saja sangat gersang. Ditambah pemandangan lalu-lintas ruwet di atas jembatan.
Berita buruknya: tidak ada yang tahu di mana tepatnya lokasi Nehru mengibarkan bendera itu. Tidak ada tanda apa-apa di situ.
Bahkan begitu sulit saya menjelaskan mengapa saya perlu ke pinggir sungai itu.
“Nehru? Mengibarkan bendera India? Di Lahore?,” begitu umumnya jawaban orang yang saya tanya.
Orang Lahore rupanya sudah benar-benar melupakan sejarah itu. Hubungannya dengan India, yang diingat, tinggal hubungan permusuhan.
Saya sampai ke gedung kebudayaan Lahore: Al Hambra. Untuk mencari jejak lokasi ini. Bertanya ke para budayawan di situ. Mereka juga sudah melupakannya.
Kebencian rupanya lebih mudah membekas dari persahabatan.
Itulah sejarah bumi manusia. (*)