BANDUNG-Kabupaten Bandung Barat sudah 12 tahun berdiri. Namun hingga kini warga miskin masih terbilang cukup tinggi. Dari jumlah penduduk 1.727.337 jiwa, sekitar 11,15 persen di antaranya atau sebanyak 198.644 jiwa tergolong sebagai warga miskin.
Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) KBB Asep Wahyu mengatakan, jumlah penduduk miskin itu tersebar di hampir semua kecamatan. Akan tetapi, kebanyakan warga miskin terdapat di wilayah selatan.
“Kami menargetkan pada tahun 2023 angka kemiskinan itu bisa ditekan hingga menjadi satu digit. Apalagi, saat ini Pemkab Bandung Barat melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) sedang menggenjot program SDC, Skill Development Center,” ujar Asep di kantornya, kemarin.
Baca Juga:Pelihara Kemanunggalan dan Semangat Bela Negara , Lanud Suryadarma Perkuat PertahananAktifkan Aplikasi Siwaslu untuk Pelaporan Hasil Pengawasan
Asep berharap, program SDC itu dapat mengakomodasi angkatan kerja, sehingga jumlah pengangguran bisa semakin berkurang. Dengan semakin banyak orang yang bekerja, maka semakin banyak orang yang memperoleh penghasilan, dan jumlah warga miskin pun bakal berkurang.
Dia mengakui, kemiskinan masih menjadi masalah klasik di KBB, sehingga tidak sedikit warga yang mengadu nasib ke luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Meski begitu, Asep membantah bahwa pemekaran KBB tidak membawa pengaruh terhadap kesejahteraan warga. “Secara keseluruhan, jumlah warga miskin di KBB mengalami penurunan dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Desa Mekarsari di Kecamatan Ngamprah yang menjadi lokasi bagunan megah kompleks pemerintahan KBB termasuk salah satu desa yang memiliki banyak warga miskin.
Kepala Desa Mekarsari Krisno Hadi mengakui, desanya masih masuk dalam kategori Inpres Desa Tertinggal (IDT). “Meski dekat dengan kantor pemerintah daerah, tapi desa kami masih masuk IDT. Desa kami termasuk salah satu desa termiskin di KBB. Bahkan, peringkatnya di KBB itu keenam, dan di Jawa Barat berada di peringkat delapan,” kata Krisno.
Menurut dia, pendapatan per kapita masyarakat di Mekarsari masih sangat minim. Pola pikir masyarakat juga kebanyakan masih konvensional. Dia menyebutkan, warga Mekarsari rata-rata bekerja sebagai buruh tani, tukang ojek, pegawai harian lepas, atau buruh pabrik. Jika dirata-ratakan, pendapatan per kapita masyarakat sekitar Rp 1,5 juta per bulan.