Pemimpin Harus Jujur
Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada era reformasi tingkat golput di Indonesia semakin tinggi, misalnya pada Pileg 2009 yang mencapai 29,1 persen. Sedangkan pada tahun 2014, angka golput pada Pileg 2014 mencapai 24,89 persen, dan pada Pilpres 2014 angka golput mencapai 29,01 persen. Data tersebut menunjukan bahwa masyarakat kita sangat senang dengan tradisi golput, karenanya dalam hal ini untuk mengatasi persoalan golput yang ada di Indonesia harus diawali oleh kejujuran dari para calon pemimpin yang selalu mengumbar janjinya. Ketika pemimpin tersebut dapat menerapkan kejujuran, maka masyarakat tidak akan mungkin untuk melakukan golput.
Maka dari itu, seharusnya MUI mengkaji ulang fatwa haram mengenai golput. Karena yang seharusnya diberikan label haram bukan hanya tindakan golputnya saja, tetapi juga para pemimpin yang tidak jujur dan para pemimpin yang tidak menepati janjinya. Dalam agama Islam bukankah orang yang tidak menepati janji adalah orang munafik? Jadi pantas saja jika para pemimpin yang tidak menepati janjinya harus diberikan label haram oleh MUI. Namun demikian cara berpikir MUI tidak akan sampai situ, mereka justru hanya mampu memberikan fatwa haram terhadap masyarakat yang menjadi korban karena ketidakpuasan mereka terhadap janji manis yang diumbar oleh para pemimpin. Golput bukan sesuatu hal yang patut diharamkan, karena tindakan golput yang dilakukan oleh masyarakat merupakan tindakan yang disebabkan oleh para penguasa yang selalu menyalahgunakan kekuasaannya. Karena itu, untuk menghilangkan golput, harus diawali dengan kejujuran dari para pemimpin di negeri ini.(*)