JAKARTA-Otentitas, gesture, dan pemaparan yang berpadu dalam debat pamungkas Capres-Cawapres 2019 yang berlangsung di Hotel Sultan Jakarta diyakini banyak pihak bakal lebih seru. Meski pun secara elektabilitas, tidak terlalu berpengaruh pada swing voter.
Pengamat Politik dari Rumah Rakyat, Maruli Hendra Utama mengatakan, mesin perdebatan akan lebih panas. Karena keduanya paham betul momentum terakhir ini. “Kedua pasangan sudah membuat skenario. Bagaimana membuat efek dari tema debat. Membuat frame untuk meyakinkan publik. Maka pada posisi ini dibutuhkan kejutan, kecermatan dan dan akurasi data,” terangnya.
Dosen Ilmu Sosiologi Universitas Lampung itu pun memprediksi, baik petahana dan penantang, bakal mengeluarkan jurus-jurus jitunya. “Dari kartu sakti, sampai ayat-ayat suci. Termasuk, kelantangan berbicara yang menggambarkan ketegasan,” tuturnya.
Baca Juga:Logistik dari KPUD Mulai Dipetakan, Perusahaan Diberi Surat EdaranNita Delima: Fasilitasi Mahasiswa Berprestasi
Mantan Ativis 98 ini menambahkan, meski penampilan debat yang sudah ditunggu publik ini menarik, tapi tidak berpengaruh pada swing voter. “Angkanya tidak signifikan. Pada bagian itu, analisa lembaga survei yang bisa bermain. Tapi yakinlah, debat pamungkas ini akan menarik dari debat-debat sebelumnya,” terang Maruli.
Berbeda dengan Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto. Ia menyebut persaingan politik di Pemilu 2019 bukanlah sebuah peperangan. Fase ini yang seharusnya dimaknai secara bijak. “Saya sependapat, bahwa debat ini akan menarik. Ada jurus-jurus pamungkas yang dilahirkan. Tapi persaingan ini bukan perang. kalau perang menang jadi arang kalah jadi abu,” kata Arif.
Namun dari narasi-narasi yang disampaikan belakangan ini malah elite politik terkesan seakan sedang berperang atau tidak siap kalah dan ingin menang sendiri. “Banyak yang disampaikan ke publik seperti, kalau kalah berarti pemilu curang, akan menggerakkan people power, mempolitisasi masyarakat, kelompok yang bukan organisasi politik. Ini berbahaya,” kata dia.
Penyakit tidak siap kalah atau ingin menang sendiri ini, kata Arif memang merupakan suatu penyakit dalam politik nasional. Pelaku-pelakunya menjadi sulit menerima perbedaan, minim empati, bahkan nyaris selalu konfrontatif. Situasi ini bukan hanya buruk untuk pelaksanaan pemilu, tapi ini juga memberi pengaruh negatif terhadap keberlangsungan bernegara.
“Kalau pemerintahan akan berganti setiap kali pemilu, tetapi negara tetap berlangsung selamanya. Jadi jangan memakai strategi politik yang mendelegitimasi pemilu karena hanya akan menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap negara,” kata dia.