Oleh Wemmy Sihombing, S.S.
Staff dan Pengajar di Kampung Inggris, Pare, Jawa Timur
Berkurangnya penutur asli sastra lisan serta sering dipandang sebagai “kisah-kisah yang tidak masuk akal dan berada di luar jangkauan akal sehat”, tak bisa dipungkiri akan menjadi sebuah ancaman terhadap esksistensi sastra lisan. Beberapa daerah juga sudah mulai menunjukkan gejala perubahan yang sungguh memprihatinkan karena sedikitnya kepedulian masyarakat terhadap sastra lisan itu sendiri.
Hal itu juga disebabkan karena kurikulum pendidikan yang kurang memberi peluang kepada peserta didik untuk membaca dan menikmati karya sastra lisan. Di tingkat SLTA, Malaysia mewajibkan pelajarnya membaca karya sastra setidaknya 6 (enam) judul, Swiss dan Jepang 15 judul, dan Amerika 32 judul. Akan tetapi, sebagian besar pelajar-pelajar Indonesia di peringkat yang sama tidak pernah membaca karya sastra”. Miris bukan?
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, merupakan instansi pemerintah yang ditugaskan untuk menangani masalah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia sudah dibentuk sejak 1948 (Balai Bahasa) yang kini menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sejak 2010. Badan ini bertugas melakukan penelitian, pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra. Tetapi saat ini kondisi sastra lisan masih banyak yang belum diekspos. Pada era kemajuan teknologi juga menyebabkan sastra lisan semakin tergerus oleh zaman dan cenderung terlupakan sehingga hanya beberapa saja yang sanggup bertahan.
Baca Juga:Muspika Bantu Biaya Pengobatan Intan, Penderita Penyakit Lumpuh Tulang BelakangJelang Ramadhan Harga Telur Naik
Revitalisasi Sastra Lisan (RSL) bukanlah barang baru lagi. Revitalisasi sastra sudah didengung-dengungkan sejak dulu. Sayangnya, sastra lisan kita masih tetap banyak seperti kondisi yang sudah disebutkan. Revitalisasi menurut KBBI adalah proses, cara, perbuatan, menghidupkan atau menggiatkan kembali. Revitalisasi sastra ini dilakukan sebagai upaya pengembangan sastra dengan menggali, merekontruksi, menginterpretasi dan mengaktualisasi yang sasarannya guna menghidupkan kembali serta membuat sastra lisan itu menjadi lebih berharga.
Jadi, mengapa harus RSL? Karena pendidikan karakter sering diintroduksikan lewat medium kesusastraan, termasuk sastra lisan itu sendiri. Di Inggris, karya sastra Shakespeare (sudah ditranskrip) menjadi bacaan wajib sejak sekolah dasar guna menanamkan tradisi etik dan kebudayaan masyarakat. Di Swedia, pada hari raya, mereka membentangkan aneka spanduk yang berisi kutipan dan karya-karya kesustraan. Di Perancis, para sastrawan agung menghuni pantheon; jejak-jejak singgahnya dibeberapa tempat diberi tanda khusus.