Oleh : Ilham Akbar
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, Ilmu Politik dan Ilmu Hukum (FISIPKUM) Universitas Serang Raya
Belum lama ini dunia pendidikan di Indonesia harus merasakan duka yang sangat mendalam, dikarenakan kasus bullying yang menimpah siswi SMP yang bernama Audrey. Ia di bully oleh para siswi SMA yang memang tidak menyukai perilaku dari Audrey. Kini para pelaku yang membully Audrey tersebut telah mengakui kesalahannya, dan pada saat ini juga para warganet beramai-ramai menandatangani petisi untuk Audrey.
Selain menandantangani petisi, dukungan terhadap Audrey pun telah bermuara kepada tagar JusticeforAudrey yang sudah menjadi trending topic di media sosial Twitter. Kasus bullying yang menimpah Audrey ini berawal dari konflik di media sosial, di mana para pelaku awalnya sering menerima ejekan dari Audrey, sehingga para pelaku pun tidak bisa membendung amarahnya, dan memillih untuk melakukan kekerasan terhadap Audrey.
Baca Juga:Tingkatkan Partisipasi Pemilih. GP Ansor Serukan Tidak GolputPabrik Imaji Gelar Membaca Karya Sastra
Peristiwa tersebut bukan sebuah peristiwa yang bisa dianggap sebagai peristiwa yang sepele, karena peristiwa bullying yang menimpah Audrey merupakan peristiwa yang harus menjadi bahan evaluasi bagi para pelajar, maupun bagi para guru di Indonesia. Bullying yang pada saat ini menimpah Audrey merupakan bullying yang disebabkan karena tidak cerdasnya para pelajar dalam menggunakan media sosial. Tentu saja kini media sosial sudah menjadi tempat bagi para pelajar untuk memperlihatkan eksistensinya, dan kini dengan adanya media sosial, mereka menjadi seseorang yang bebas berekspresi, dan bebas berpendapat tanpa memikirkan apa yang akan terjadi kepada mereka.
Bahkan kebebasan yang dilakukan oleh para pelajar di media sosial pada saat ini sudah dianggap sebagai hal yang sangat wajar. Kini para pelajar sudah menganggap bully merupakan hal yang paling disukai, jika temannya dianggap tidak menyenangkan, atau dianggap sebagai teman yang tidak ada gunananya sama sekali. Oleh karena itu, aktivitas yang dilakukan oleh para pelajar di media sosial, pada akhirnya akan membentuk suatu budaya di media siber, atau yang disebut dengan cyberculture.
Kini budaya tersebut sudah bersarang di dalam benak para pelajar, sehingga budaya tersebut sangat sulit untuk dihilangkan begitu saja. Nahasnya lagi, ketika para pelajarnya selalu menghalalkan segala cara untuk eksis di media sosial, ternyata sekolah tidak bisa mengendalikan kebebasan para pelajarnya yang dilakukan di media sosial tersebut. Sekolah hanya peduli terhadap siswa-siswi yang mempunyai prestasi dalam bidang tertentu saja. Karenanya dalam hal ini, untuk mengatasai persoalan tersebut, maka sekolah harus mengutamakan pendidikan mengenai cyberculture dalam melakukan kegiatan belajar mengajar.