Kekerasan politik yang mewarnai akhir dari orde otoriter tersebut tak pelak merupakan bagian dari ekses politik identitas. Kondisi yang telah mewujud dalam bentuk api dalam sekam yang terus membara dan siap dikobarkan selama masalah tersebut tidak diselesaikan secara terbuka, proporsional, dan rasional.
Bagaimana dengan kondisi politik saat ini?
Pelemahan Publik Sistematis
Orientasi ‘negara kuat’ demi melayani kepentingan kapitalis pada masa Orde baru memiliki beberapa konsekuensi yang harus ditelan bangsa Indonesia. Salah satu yang paling vital adalah melemahnya kekuatan sipil yang terkonversi hanya sebagai penonton panggung politik. Di sisi lain, negara cuma aparat memiliki kontrol yang totaliter dalam wacana-wacana politik dengan sipil sebagai objek penderita kolonisasi. Dalam konteks inilah berlangsung berbagai upaya yang disebut Hikam (1999) dalam buku Politik Kewarganegaraan sebagai pengkaplingan politik.
Pengaplingan politik sebagai sebuah cara pandang mewujud berbagai bentuk pelarangan, pembatasan, dan ekslusi dalam level individu maupun kelompok bagi yang dicap radikal atau mengancam stabilitas nasional. Masuk dalam kategori ini adalah mantan Tapol, Napol, kelompok Islam garis keras dan warga nonpribumi (sebuah istilah yang bermasalah sekaligus sangat ideologis), khususnya keturunan Cina (saat ini memiliki istilah yang lebih netral: Tiong Hoa).
Baca Juga:Bawaslu Optimis Pemilu Aman dan LancarLomba Aeromodelling Meriahkan Bulan Dirgantara
Selain bergerak dalam cara-cara represif dengan berbagai mekanisme pengawasan: wajib lapor, KTP bertanda khusus, dan screening atas kelompok yang disebut berbahaya tersebut, negara juga masuk dalam mekanisme hegemoni makna. Wacana bahwa dengan alibi pluralitas yang tinggi, maka HAM dikesampingkan dan kepatuhan terhadap kekuasaan lebih diutamakan merupakan ancaman awal semakin melemahnya politik kewarganegaraan.
Celakanya, gagasan yang hegemonik tersebut masuk dalam berbagai diskusi akademik dan diamini sebagai benar tanpa adanya telaah kritis. Potensi konflik antar kelompok juga semakin diperuncing dengan kesenjangan bidang ekonomi. Maka, kerusuhan rasial yang semakin melemahkan partisipasi politik dan memunculan apatisme kolektif. Masuk dalam era reformasi, apakah cita-cita penguatan civil society tersebut telah terlaksana?
Aktor Politik
Kegagapan atas situasi transisi pascakolonialisme terulang dalam proses transisi menuju era reformasi pasca runtuhnya rezim otoriter. Kegagalan Orde Baru dengan konsep ‘negara kuat’ nya perlu dievaluasi dengan pembangunan struktur dan format politik yang berlandaskan pada hak-hak dasar warga negara, khsusunya hak-hak berbicara, berkumpul, serta berorganisasi. Dengan kata lain penguatan politik kewarganegaraan adalah keniscayaan dalam usaha penguatan civil society.