Oleh: Lukman Enha
(Pimpinan Redaksi Pasundan Ekspres)
Pilpres 2019 ini benar-benar mengaduk emosi. Semua dibikin penasaran. Sejumlah isu sensitif bersliweran, informasi hoaks bertebaran. Mulai dari isu PKI, khilafah, antek asing, penculikan, hingga status duda juga dibahas.
Ada pula yang mengasosiasikan pilpres ini dengan perjuangan membela agama. Jalan ke surga atau neraka. Sumpah serapah, ujaran kebencian hingga pertaruhan begitu menggema. Ibarat menyaksikan film thriller atau novel detektif, inilah pilpres yang paling mendebarkan.
Setidaknya ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Mengapa sampai seperti itu:
Pertama, Pertarungan El-Classico. Pertarungan kandidat Capres adalah pertarungan klasik yang terulang lagi: Prabowo vs Jokowi. Pertarungan 2014 yang terulang. Ibarat pertarungan Real Madrid vs Barcelona. Selalu mengundang beragam prediksi, legenda dan menggemaskan. Prabowo dan Jokowi masing-masing punya pendukung fanatik. Seperti fanatisme pendukung Persib vs Persija.
Baca Juga:Ini Penyebab Logistik untuk Kecamatan Subang Baru Tiba Pukul 05.30 WIBDini Hari Logistik Belum Datang, Petugas TPS Resah dan Lelah Menunggu
Kubu Jokowi ingin menang kedua kalinya menaklukan Prabowo. Kubu Prabowo juga greget ingin menumbangkan Jokowi di kesempatan yang terakhir ini. Jika Prabowo kalah akan menelan malu karena tiga kali kalah di Pilpres. Jika Jokowi kalah juga akan merasakan malu, ditumbangkan dengan menyandang status petahana. Akan bernasib seperti Megawati yang ditumbangkan SBY tahun 2004 lalu.
Kedua, Jebakan Presidential Treshold (PT).
Entah siapa desainer utama aturan PT 20 persen yang mengakibatkan dua kutub utama peta politik nasional. Partai terkelompok ke dua kubu koalisi. Sebab untuk mengajukan Capres harus didukung 20 persen kursi legislatif. Akhirnya pertarungan ini disebut perang total, ada juga yang menyebut perang badar
Ketiga, Muslim Tradisionalis vs Modernis
Peta dukungan Pilpres juga menyeret para tokoh agama ke dalam pusaran politik. Kaum tradisionalis dan modernis terbelah ke dalam dua kubu. Kaum tradisionalis diwakili kelompok Nahdlatul Ulama (NU) sedangkan kelompok muslim modernis diwakili kelompok Muhammadiyah dan kelompok gerakan tarbiyah atau hijrah.
Prof Luthfi Assyaukani menganalisa adanya pertarungan dua kubu itu dalam setiap perebutan kekuasaan. Menurutnya, dua kelompok ini sejatinya tidak pernah benar-benar berdamai dalam urusan politik. Bahkan ia menyebut pilpres tahun ini adalah arena pertarungan para “pemegang kunci surga”. Lihatlah para ulama berseru-seru di masjid, di ceramah dan di media. Beragam fatwa dikeluarkan, beragam dalil diungkapkan.